**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚ ˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*
Kepulan asap menyelimuti udara. Sekitar mata jadi gelap tak berwarna. Arah memburam. Namun, dari kejauhan terlihat seseorang yang Galih kenal. Orang itu kian mendekat, tersenyum, lalu ketika sudah rapat, memakaikan Galih kain tipis di kepala.
"Assalamu'alaikum," ucap seseorang itu setelahnya.
"Wa'alaikumsalam," jawab Galih perlahan. Ia terkesima. Bahkan, untuk tersenyum pun sukar.
Seketika, udara sekitar luput dari asap. Perlahan, benderang. Hawa sejuk memikat. Kekelaman reda dari pandangan netra.
Orang itu tersenyum damai, mengelus pipi Galih yang halus bagai sutra. Begitu yang Galih rasa, pipinya halus kendati bukan tangannya sendiri yang menyentuh wajahnya.
"Apa kabar, Mas Galih?"
"Ba-baik...." Galih terbata, sebab gugup tak terkira. Begitu cantik yang ia lihat, berkali-kali lipat dari yang ia ingat. Jantung pun berdegup kencang. Dadanya menyesak. Lara rindu membuncah. Keharuan merambat dan bermekaran.
Lalu, Galih berdiri, membuat gadis cantik itu terkesan lebih mungil. Di kepala Galih, masih ada kain tipis.
Mereka berpandangan beberapa detik. Gadis itu tersenyum begitu manis. Meski pangling, Galih tetap mengenali. Ia pun memeluk dan menggandeng tangan wanita berusia 20 tahunan itu dengan sensasi panas pada manik. Hatinya dipenuhi ribuan kupu-kupu cantik.
Mereka pun mulai melangkah, menyusuri sebuah jembatan kecil penuh bunga putih. Beragam jenis, bermacam bentuk, tapi semuanya putih.
Wanita itu menengok ke kanan pada Galih, mendongak sedikit karena pemuda itu lebih tinggi. Ia tersenyum lagi, begitu rupawan, menawan, sangat cantik. Wajahnya putih bersih, bibirnya merah tanpa lipstik. Terlalu indah tuk terdeskripsi. Galih bahagia sekali, hingga air matanya meleleh di pipi. "Ma... Galih kangen," ucapnya lirih.
Perempuan itu tersenyum lagi, kali ini kelihatan gigi. Indah sekali bak bidadari. Susah dirangkai lewat diksi.
Tak sanggup Galih menahan rasa. Tangan mereka masih bertautan. Gejolak tangis pun menanjak, suaranya bergetar sembari terus berjalan, "Ma... Galih kangen...," adunya lagi, dengan frasa yang tak diganti-ganti. Lalu, terisak kecil, sambil terus berjalan di jembatan bunga putih.
"Sayang...." Wanita muda itu kembali mengelus pipi kanan Galih yang telah banjir dengan air. "Kita ke sana. Kamu yang paling tampan di sana," ungakpnya lembut memuji.
***
Kedua mata Galih terbuka cepat. Kehampaan langsung menyambutnya. Pemandangan pertama yang dilihat, adalah plafon kusam bernoda bekas bocoran. Cokelat, berpulau-pulau.
Sensasi diri masih seperti sebelumnya, saat Galih sedang menggandeng dan memeluk lengan ramping sang perempuan. Haru, bahagia, namun jadi menyesal. Kenapa? Karena tak nyata.
Sedih pun datang, mengerumuni hati dan jiwa. Adegan barusan masih sangat jelas di kepala. Galih meneteskan air mata, jatuh mengalir membasahi bantal. Menengok ke kiri pada neneknya, masih tidur beliau.
Galih pun mendudukkan badan dengan pelan, lalu merasa lemas seolah habis berjalan seribu langkah. Sadar yang tadi hanya mimpi, pahit jadi kian terasa. Matanya panas dan perih sangat cepat, lalu kembali mengeluarkan air mata.
Ia menunduk. Sedih, rasanya seperti melebur. Tulang-tulangnya lesu. Kumpulan rindu menjadi pilu. Menutup wajah dan mulut, Galih terisak tanpa ingin Nenek bangun.
Pukul 3 dini hari, Galih terbangun. Padahal, baru sejam tertidur setelah pulang larut. Dibangunkan mimpi yang syahdu, namun menyobek kalbu.
Mamanya, Afiani, yang begitu mirip dengan sang adik, datang menemui Galih. Dengan rupa muda, segar, cantik, bersih, dan wangi. Mengingatnya lagi, semakin tak sanggup hati Galih.
KAMU SEDANG MEMBACA
DINI HARI GALIH ✔️
General FictionTentang Galih yang penuh pengorbanan. Selalu sabar, menyayangi tanpa syarat. Bersusah-payah, berkorban tanpa ingin dilihat. Asal Nenek dan Januar adiknya bahagia, Galih rela melakukan apa saja. Galih tak pernah rakus akan dunia. Tak pernah minta keb...