**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚ ˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*
".... Januar tadi cerita sama Nenek, katanya butuh uang 27 juta buat kuliah? Gimana ya, Galih? Kita cari ke mana duit segitu?" Di tengah kegelapan lampu kamar yang sengaja dimatikan demi menghemat listrik, Nenek menangis menanyakan pertanyaan ini.
Malam ini, seperti pada biasanya. Pulang kerja, aku menghampiri Nenek di atas tempat tidur, mengajaknya mengobrol karena sudah meninggalkan seharian, lantas keluhan penuh air mata itu keluar begitu saja darinya.
Aku tidak tega. Kuelus-elus lengan kurus Nenek. Menyapu-nyapu kepala dan rambut perak lurus sebahunya juga untuk menenangkan. "Nenek gak usah nangis, ya? Uangnya ada, kok. Udah disimpen sama Galih," ujarku lembut dengan senyuman hangat.
Nenek masih terisak pelan. Tatapannya menyapaku secara putus asa. Januar tidak dengar percakapan kami, dia belum di rumah.
"Bohong kan, Galih? Gajinya Galih cuman 2 juta. Ngurusin Nenek uangnya Galih jadi habis...," isak Nenek pelan, tetapi begitu sedih. Bahu sempitnya berguncang kecil.
"Eh, enggak...," sangkalku lembut sambil menggeleng. Aku menggeser pinggul supaya semakin dekat. "Galih ada uangnya, Nek. Buat kuliah Januar, ada... udah disimpen sama Galih uangnya dari waktu itu," ujarku lagi, berusaha menghibur dan menenangkan Nenek.
"Dapet dari mana?" tanya Nenek masih dengan tangisan. Matanya basah, merah, dan sembap. Tampaknya, Nenek sudah menangis sejak sebelum aku pulang.
"Kan, Galih sering nabung? Nenek gak usah sedih, ya? Pokoknya udah ada uangnya sama Galih." Aku tersenyum, walau sebenarnya aku berbohong.
Nenek menatapku dengan kesedihan, lalu menangkup wajahku dengan sebelah tangan. Mengelusnya halus, membuatku jadi tersenyum. Lalu, tangan Nenek menarik pelan tengkukku, mengecup keningku dengan rasa sayang.
"Galih hebat, bisa kumpulin uang sebanyak itu," puji Nenek setelah melepas kecupannya.
Aku tersenyum, mengangguk terharu.
"Maafin Nenek gak bisa bantuin Galih cari uang...." Air mata Nenek menetes lagi.
"Gak apa-apa... Galih bisa, gak perlu dibantuin," balasku lembut. "Yang penting, Nenek harus sehat terus, ya? Biar Galih semangat...." Mataku memanas mengatakan ini. Pandanganku pun mulai dihalangi kumpulan air.
Masih memandangiku di tengah kegelapan, Nenek menangis dengan bibir yang terkatup rapat.
Aku tidak sanggup melihatnya. Lantas, aku semakin mendekat, lalu memeluk Nenek dengan hangat. Aku menahan tangisku, namun bahuku malah berguncang. Nenek mengusap-usap punggungku dengan penuh sayang.
Sedikit kecewa pada diriku. Mengapa Nenek harus menangisiku? Aku tidak apa-apa. Mengapa Nenek masih saja sedih melihatku? Apa aku belum cukup kuat di matanya? Kapan aku bisa membuat Nenek tersenyum bangga? Aku ingin Nenek bangga padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
DINI HARI GALIH ✔️
General FictionTentang Galih yang penuh pengorbanan. Selalu sabar, menyayangi tanpa syarat. Bersusah-payah, berkorban tanpa ingin dilihat. Asal Nenek dan Januar adiknya bahagia, Galih rela melakukan apa saja. Galih tak pernah rakus akan dunia. Tak pernah minta keb...