16 - Gara-gara Gelas

997 172 103
                                    

**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚ ˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*

Seperti biasa di hari Sabtu, aku tetap bangun pagi walau libur ke kantor. Sebab, harus sholat di jam 5 subuh. Berjama'ah dengan Nenek karena beliau inginnya selalu sholat subuh bersamaku sejak dulu, sejak Kakek 'pergi' lebih dulu.

Nenek sholat dengan posisi duduk di atas kasur, di belakangku yang berdiri di lantai, di depannya sebagai imam.

Setelah salam terakhir, kami berdoa bersama. Kemudian, ibadah pun selesai. Aku mencium tangan Nenek, melipat sajadah, dan minta izin pergi ke luar untuk menunggu tukang sayur.

"Galih nungguin tukang sayur dulu ya, Nek. Habis itu Galih mau masak," ucapku yang hanya diangguki Nenek.

Aku pun ke luar dari kamar ini. Namun, baru di ambang pintu, Nenek memanggilku lagi. Aku menoleh, mendekat kembali.

"Nenek mau duduk di teras aja," pintanya.

Aku tersenyum, mengangguk. Segera mengangkat tubuh Nenek, mendudukkannya perlahan ke atas kursi roda. Lalu, membawa Nenek ke depan rumah.

Suasana langit masih agak gelap, tetapi sudah ada samar-samar kebiruan di ujung cakrawala. Juga, sudah banyak aktivitas manusia di jalan perumahan kami yang sederhana. Nenek suka melihat-lihat kegiatan orang di jalan. Bertegur-sapa dengan tetangga, suka juga melihat kendaraan yang sesekali lewat di jalanan.

Tak lama kemudian, tukang sayur yang kutunggu datang juga. Aku pamit sebentar ke depan rumah sebelah untuk menghampiri tukang sayur yang memarkirkan gerobaknya di sana.

....

Selesai membeli beberapa bahan makanan yang terjangkau-terjangkau saja, aku kembali ke rumah dengan seplastik belanjaan. Nenek masih di teras.

"Nenek mau susu? Biar gak laper nungguin Galih masak." Aku menawarkan sebelum masuk ke dapur.

Nenek mengangguk. "Iya, boleh."

Aku hanya tersenyum sebelum masuk menuju dapur.

Melewati kamar Januar, anak itu masih tidur di dalam. Susah sekali setiap mau disuruh sholat, harus berkelahi dulu pokoknya. Sudahlah subuh, sholat-sholat yang lain saja dia enggan. Setiap hari kuingatkan, tapi dia tetap malas melakukan. Ya sudah, dia sudah besar, tanggung sendiri dosanya.

Aku masuk ke dapur. Mengambil susu bubuk saset di lemari tua penyimpanan, mengambil gelas, membuka bungkus susu, lalu menyeduhnya dengan air panas. Nenek suka susu putih, malah tidak suka susu cokelat.

Kuambil sendok untuk mengaduk, lalu...

PRANG!

"Astaghfirullah!" pekikku spontan karena kaget.

Ya ampun, aku memecahkan gelas. Tidak sengaja menyenggolnya dengan siku kanan. Susu yang belum teraduk ini pun tumpah semua ke lantai.

"Astagaaa." Suara lainnya mengagetkanku. Dengan cepat, aku menoleh ke arah suara.

Januar, matanya membesar melihat pecahan gelas di lantai. Dia mendekat, kemudian menatapku yang kini berjongkok ingin membersihkan pecahan-pecahan. "Mas! Ini gelasku?!" tanyanya ganas. Matanya melotot menatap wajahku.

DINI HARI GALIH ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang