18 - Dengan Pak Rafdi

994 175 54
                                    

**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚ ˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*

2 hari kemudian...

Malam itu, Januar berniat ikut balap liar bersama teman-temannya. Namun, tidak diizinkan oleh kepala geng balapan. Alasannya, motor Januar tidak cocok untuk diikutkan balapan. Katanya, matic kurang keren. Boleh, sih, tapi setidaknya harus diganti knalpot berisik dulu, jangan knalpot yang halus kalem seperti milik Januar. Supaya jantan, katanya.

Januar tidak pernah suka kekalahan. Tidak suka jika direndahkan. Mendengar penolakan itu, darahnya jadi memanas. Tidak mau tahu, pokoknya knalpot motornya harus diganti! Supaya bisa 'keren' dan 'jantan' seperti para pemuda ingusan yang suka balapan gila, alay, dan agak kurang berfaedah itu.

Remaja 17 tahun itu sedang duduk di sofa tua ruang tamunya. Memikirkan tentang kesenjangan sosial yang begitu memuakkan dan menjijikkan baginya. Benci sekali jadi orang susah!

Ponsel andalannya, Januar raih dari atas meja ruang tamu. Melihat benda yang masih sangat mulus itu, senyumnya jadi terbentuk. Selalu merasa keren punya iPhone terbaru yang harganya membuat sang kakak semakin jadi babu.

"Januar...," panggil Nenek lembur dari dalam kamar.

"Yaaa."

"Nenek minta minum, Jan...."

"Iyaaa." Januar turun dari sofa, kemudian berjalan ke dapur untuk mengambilkan cerek berisi air, juga gelas bersih.

**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚ ˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*

Siang yang sama di sisi lain Jakarta, di sebuah kantor, ada Galih yang tidak tahu-menahu tentang impian brutal adiknya. Ia sedang sibuk dengan pekerjaan---membereskan ruang rapat yang baru saja digunakan.

Selagi merapikan meja-meja dan kursi-kursi, mata Galih sesekali melirik Pak Rafdi yang masih merokok santai di ujung meja, bersama Pak Andrew juga. Mereka berdua tengah membicarakan hasil rapat tadi---yang tidak Galih mengerti artinya.

Pak Andrew yang peka itu menyadari tatapan Galih. Sedari tadi, kerap curi pandang kepadanya dan Pak Rafdi.

"Galih, kenapa ngeliatin?" Pak Andrew bertanya santai, lalu terkekeh.

Galih terkaget dengan mata membesar lucu. Langsung jadi kikuk karena tak menyangka Pak Andrew sadar tengah ditatap-tatap. Terlihat juga Pak Rafdi yang tersenyum-senyum tipis melihatnya. Galih jadi makin salah tingkah.

"Hehe, maaf, Pak," ujar Galih untuk Pak Andrew dan Pak Rafdi, lalu kembali sibuk membereskan meja dan kursi.

Sejujurnya, ada sesuatu yang sangat ingin Galih utarakan kepada atasannya, terlebih khusus pada Pak Rafdi selaku pemilik perusahaan. Maka dari itu, ia curi-curi pandang terus. Namun, nyali kecil Galih menghalangi cakapnya. Pemuda 23 tahun ini begitu khawatir bila salah bicara.

Ah, tapi Galih tidak tahan lagi rasanya. Ia ingin mengatakan, tapi kalau pekerjaannya sudah selesai saja. Lantas, Galih lekas mempercepat laju kerjanya.

Pak Rafdi dan Pak Andrew memerhatikan. Gerak-gerik Galih yang begitu tergesa-gesa, membuat mereka menahan-nahan senyuman. Lalu, Pak Andrew membisikkan sesuatu pada Pak Rafdi yang lebih tua darinya. Sebuah ungkapan pujian tentang Galih, OB andalannya.

Pak Rafdi tersenyum mendengarnya. Menyeringai kecil, tetapi bukan lambang kelicikan. Memang begitu wajahnya. Justru, ia sedang menyimpan kekaguman terhadap Galih, salah satu OB-nya.

Sekadar informasi, Pak Andrew telah banyak menceritakan tentang Galih kepada Pak Rafdi. Tentang perjuangan Galih sejak 8 tahun yang lalu. Seorang pemuda baik, pekerja keras, dan tak kenal marah pun lelah. Sedikit-sedikit, juga menceritakan tentang adik Galih---yang menurut Pak Andrew agak-agak tak tahu diri bentukannya.

DINI HARI GALIH ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang