***"Maaf... kami harus sampaikan ini. Kemungkinan Anda hidup tinggal tiga bulan lagi."
Kalimat yang disampaikan Dokter masih terngiang di telinga Jenaka. Hidupnya tinggal tiga bulan lagi—atau bisa jadi lebih buruk dari itu.
Bagaimana bisa Jenaka berada di posisi seperti sekarang? Apa salah Jenaka? Ia selalu hidup sesuai aturan yang Tuhan beri. Jenaka tidak pernah melakukan ha-hal yang merugikan dirinya, orang tua, dan orang-orang di sekitarnya. Lalu, kenapa hidup Jenaka sangat singkat dibanding orang yang tidak pernah menaati aturan yang Tuhan berikan?
Cuma tiga bulan.
Sakit sekali rasanya mendengar perkataan Dokter.
Jenaka masih ingin menikmati masa mudanya. Ia sedang menabung agar bisa berkeliling dunia, menjadi orang sukses, serta menyiapkan diri, dan mental untuk mengungkapkan perasaannya kepada Lembayung, suaminya.
Orang itu ada di sampingnya sekarang, menyodorkan sesendok nasi dengan ekspresi wajah menahan kesal setengah mati.
"Kamu tahu nggak, tangan aku udah pegal banget," keluh Lembayung menurunkan sendoknya perlahan.
Sedari tadi Jenaka tidak mau membuka mulutnya—lima menit penuh dengan posisi tangan Lembayung mengarahkan sendoknya di depan bibir Jenaka.
"Ish," desis Jenaka, merubah ekspresi wajahnya menjadi galak. "Kamu nggak sabaran banget jadi suami, sih! Kamu, nih, nggak bisa lembut sama aku dikit aja? Sama sepupu dan teman kamu aja bisa! Masa sama aku aja, nggak?!"
Jenaka mengomel panjang-lebar, cerewet seperti hari-hari sebelumnya.
Ini yang tidak disukai Lembayung dari Jenaka. Perempuan itu sangat manja dan menyusahkan!
Untuk mendapatkan persetujuan perceraian di antara mereka saja, Jenaka memberinya syarat.
Dalam satu bulan—Lembayung harus memperlakukan Jenaka seperti istri pada umumnya. Sesuatu yang tidak pernah mereka lakukan. Tiga tahun mereka menikah, dan tidak menunjukkan perubahan, buat apa dipertahankan?
"Sekarang aja kamu kesal sama aku, ya. Nanti kalau aku udah nggak ada, baru nyesel kamu," gumam Jenaka, diselingi senyum tipis.
Senyum tipis itu diartikan—bahwa Jenaka sedang mencoba meledeknya.
Diam-diam Jenaka meringis, menangis dari dalam hati. Selain dirinya, tidak ada satu pun yang tahu tentang kondisi kesehatannya. Bahkan alasan Jenaka meminta Lembayung bertahan satu bulan lagi menjadi suaminya, pun, Lembayung tidak mengetahuinya.
Jenaka mendengus tanpa kentara. Ia menatap Lembayung yang tengah mengaduk-aduk makanan Jenaka. Dalam hati Jenaka, saat ia pergi nantinya, Lembayung tidak akan merasa kehilangan.
Karena Jenaka, tidak berarti apa-apa dalam hidup Lembayung.
To be continue---
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayo, Kita Cerai!
General FictionLembayung dan Jenaka telah menikah tiga tahun lamanya. Saling mencintai bukan alasan keduanya berakhir menikah dan menghabiskan waktu tiga tahunnya untuk berada dalam satu atap. Mereka, korban perjodohan oleh orang tua. Tiga tahun berselang, Lemba...