Perasaan Nasti mengatakan seseorang mengikutinya dari belakang. Nasti tidak mengada-ada. Bukan karena ia berada di tempat sepi, dan remang, lalu kepalanya mulai berimajinasi secara berlebihan. Nasti menjadi begitu yakin, karena ia melihat wujud dari bayangan seseorang itu.
Nasti melambatkan langkah, kepalanya terasa kaku ketika ia gerakkan memutar, memeriksa di belakang untuk memastikan sekali lagi. Tapi... Nasti tidak memiliki keberanian. Nasti berhenti, melihat bayangan lelaki itu menghilang.
Kening dan leher Nasti telah dibasahi keringat. Kedua kakinya gemetaran mirip jelly, hampir saja ia limbung karena tidak kuat berjalan lebih banyak dan cepat. Nasti menggenggam ponsel di tangan kanannya. Ia telah mengirim pesan kepada siapa pun yang dilihatnya tengah aktif.
Rasanya, Nasti tidak kuat berdiri. Ia sungguh ketakutan setengah mati. Baru beberapa hari lalu ia membaca seorang perempuan menjadi korban begal. Masa, sekarang Nasti mengalami nasib serupa? Nasti masih ingin hidup lama, berumur panjang, kalau pun mati, tidak dengan cara mengenaskan seperti korban begal di luar sana.
Nasti meletakkan sebelah tangan di dada, menghirup udara sebanyak-banyaknya. Ia mengangkat wajah, bertekad hidup lebih lama. Kalau pun di belakang memang begal, Nasti akan memberi perlawanan lebih dulu. Kalau kata Jenaka, yang penting mereka sudah berusaha. Soal hasil, apa kata nanti.
Nasti menggerakkan kedua kaki, tapi baru beberapa langkah, ia melihat ada sepasang kaki yang dibungkus sandal berwarna putih. Nasti hampir saja memukul orang itu dengan tasnya. Namun saat ia mengangkat wajah, ternyata itu temannya sendiri. Dimar. Berdiri di depannya dengan kaus hitam, celana abu-abu, dengan tangan kanan yang dimasukkan ke dalam saku.
"Akh! Bangke! Lo bikin gue jantungan, Mar!" pekik Nasti, sontak ia duduk berjongkok di depan kaki Dimar.
Dimar tampak cuek. Ia menunjukkan layar ponselnya di depan Nasti. "Gue dapat pesan dari lo. Katanya ada yang ngikutin di belakang. Mana? Nggak ada siapa-siapa, tuh!"
Nasti baru berani menengok ke belakang. "Tadi ada, Mar," ujar Nasti menekan nada suaranya. "Orangnya udah pergi karena lihat lo, kali!"
"Bukan orang yang ngikutin lo mungkin, Nas," sahut Dimar. "Bisa jadi itu hantu."
Nasti langsung bangun, mengayunkan tasnya ke arah Dimar dengan amarah. "Sial, gue udah mau pingsan, lo malah bikin gue tambah parno!"
Dimar mengantongi ponselnya ke dalam saku celana kembali. "Makanya gue bilang ke lo, kenapa nggak nunggu pagi kalau mau pulang? Bahaya perempuan pulang malam-malam. Gue bisa setiap saat datang saat lo butuh bantuan kayak gini."
"Gue capek, Mar. Mau tidur di tempat yang nyaman." Nasti mengeluh sambil memegangi belakang lehernya. "Udah, lah. Lo kebanyakan ceramah. Tadi pagi ke Jenaka, sekarang sama gue."
Dengan santai Nasti menggandeng lengan kanan Dimar, sedikit menarik tubuh lelaki itu agar mereka segera meninggalkan tempat tersebut.
***
Jenaka dan Lembayung tidur saling memunggungi satu sama lain. Kamar mereka hanya diterangi oleh lampu tidur di atas meja. Keduanya belum juga memejamkan mata. Jenaka tidak mengantuk, tidak berniat tidur lebih cepat setelah kejadian tadi.
Lembayung juga, ia pikir Jenaka berubah menjadi pendiam setelah seharian ini berada di rumah Dimar.
Lembayung tidak tahu kalau Jenaka sempat mengintip dirinya dan Alisa dari luar pagar. Walau agak samar, Jenaka masih bisa mendengar percakapan mereka, lalu mendengar gerutuan dua ibu-ibu di belakang Jenaka.
Jenaka diam sesaat, merenungi kisah cintanya yang tak pernah berjalan mulus. Cintanya bertepuk sebelah tangan. Biarpun Lembayung mengiyakan permintaannya untuk bertahan satu bulan lagi, Jenaka rasa itu hanya akan sia-sia. Pada akhirnya Jenaka bukan pemenangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayo, Kita Cerai!
General FictionLembayung dan Jenaka telah menikah tiga tahun lamanya. Saling mencintai bukan alasan keduanya berakhir menikah dan menghabiskan waktu tiga tahunnya untuk berada dalam satu atap. Mereka, korban perjodohan oleh orang tua. Tiga tahun berselang, Lemba...