"Terima kasih." Lembayung membuka pintu lantas masuk ke dalam mobil. Di sampingnya, Jenaka duduk di kursi dengan posisi menyandarkan punggung lalu menarik napas panjang seolah kesal melihat Lembayung yang kini menatap ke arahnya.
"Males," gerutu Jenaka mendorong tangan Lembayung ketika menyentuh kepalanya. "Aku mau bubur ayam. Bukannya malah disuruh pulang!"
"Bukannya nggak mau beliin kamu, Jen. Kamu lihat sendiri kita muter-muter sampai bensin mobil kita habis, dan memang nggak nemu." Lembayung belum mau menyerah membujuk Jenaka. "Kita beli besok pagi, ya? Pasti yang jual banyak, tuh."
Jenaka menolehkan kepala. Bibirnya bergerak seolah ingin menangis. "Aku maunya sekarang Lembayung. Kamu ngerti nggak, sih?"
Tiba-tiba saja istrinya uring-uringan cuma karena ingin makan bubur ayam. Bukan Lembayung tidak berusaha mencarikan bubur ayamnya, apa lagi dituduh tidak mau membelikannya. Berapa harga bubur ayam, sih? Lembayung bisa membelikan sebanyak yang Jenaka mau. Tapi masalahnya tidak ada satu penjual bubur ayam satu pun walau sudah berkeliling kota sampai bensin mobilnya hampir habis.
"Terus gimana kalau nggak nemu, Jen? Masa kamu tega nyuruh aku muterin kota sampai pagi?" Lembayung memasang tampang memelas.
Jenaka juga tidak tahu kenapa ingin sekali makan bubur ayam. Ia harus mendapatkannya sekarang atau kalau tidak, Jenaka tidak akan bisa tidur sampai besok pagi.
Iya sih, Lembayung sudah berkeliling kota cuma untuk mencari bubur ayam untuknya. Ia bahkan tidak kuasa menahan kantuk. Melihat Lembayung kelelahan, Jenaka mau tidak mau setuju untuk pulang saja.
Lembayung memberi kecupan singkat di kening Jenaka. Ia mengusap pipi istrinya dengan satu tangan sembari melajukan mobilnya menuju ke rumah. Dalam hati ia bisa menghela napas lega karena Jenaka akhirnya berhasil ia bujuk. Lembayung tidak bisa membayangkan jika harus berkeliling kota sampai besok pagi.
***
"Apa lagi, Jen?" Lembayung hendak menaiki anak tangga, namun urung karena Jenaka menarik ujung bajunya hingga berbalik dan balas menatap Jenaka.
"Kamu sayang sama aku, kan?"
Pertanyaan Jenaka baru saja memancing kerutan di dahi Lembayung. Perasaan Lembayung mulai tidak enak. Jenaka dengan sengaja memasang tampang memelas. Jelas sekali ada maunya jika sudah begitu.
"Sayang aku apa nggak?" Jenaka agak mengentakkan kaki. Ia mudah kesal cuma karena Lembayung telat menjawab pertanyaan darinya.
Jangan ditanya lagi. Tentu saja Lembayung menyayangi istrinya. Hanya saja, ia dan Jenaka bukan tipikal pasangan yang mudah mengungkapkan perasaan setiap hari dengan kata-kata, "Aku sayang kamu." Atau yang paling ekstrim menurutnya, "Aku cinta kamu." Tidak, itu sama sekali bukan gaya mereka berdua.
"Ya." Lembayung memilih jawaban aman. Sejujurnya ia merasa geli jika harus membalas jawaban Jenaka seperti, "Iya, aku sayang kamu." Ia bisa merinding di sekujur tubuhnya.
Beruntung, Jenaka tidak protes mendengar jawaban pendek Lembayung.
"Karena tadi nggak ketemu sama tukang buburnya, gimana kalau kamu yang masak aja buat aku." Kedua sudut bibir Jenaka menyunggingkan senyum ceria. "Kamu kan bisa masak. Bikin bubur ayam kan gampang," lanjutnya.
"Jen, tunggu."
"Apa?"
"Sepengin itu kamu makan bubur ayam? Nggak bisa besok aja?" tanya Lembayung, bingung.
Jenaka melepaskan ujung baju Lembayung. Bibirnya mencebik. "Nggak bisa. Aku maunya makan bubur ayamnya sekarang. Kalau besok udah nggak kepingin lagi."
Lembayung menarik napas panjang lalu mengembuskannya tanpa kentara. Ia harus sabar menghadapi perempuan. Lembayung teringat kata-kata kedua orang tuanya agar bisa lebih mengalah kepada Jenaka. Bagaimanapun Jenaka itu istrinya. Kalau Jenaka kurang sabar, masa Lembayung harus begitu juga. Yang ada mereka malah sering bertengkar.
"Iya, okay." Lembayung mengangkat kedua tangannya. Walau ia lelah sekali setelah bekerja di kantor, belum lagi memikirkan kasus yang tengah ia tangani, Lembayung tidak bisa mengabaikan keinginan istrinya. Ia pikir, membuat bubur tidak akan lama.
Raut wajah perempuan itu seketika menjadi sumringah. Ia menjadi senang, berjinjit setengah menarik lengan Lembayung lalu mencium pipi suaminya.
"Sebelah doang, Jen." Lembayung melayangkan protes.
"Nggak usah banyak mau kamu, Lembayung." Jenaka menatap suaminya galak.
Hampir tengah malam mereka berada di dapur cuma berdua saja. Lembayung menyiapkan bahan-bahan yang ia perlukan untuk membuat bubur ayam. Lembayung mengatakan bahwa ia tidak berjanji bubur ayam buatannya akan seenak saat beli di luar. Jenaka manggut-manggut, menepuk pipi kanan Lembayung sembari menyunggingkan senyum lucu.
"Kamu muter ke sana dulu." Jenaka memberi isyarat dengan tangan kanannya.
Lembayung mengikuti perintah Jenaka. Ia berputar, Jenaka memasangkan apron ke tubuhnya. Kedua tangannya terulur mengikatkan tali apron-nya ke pinggang Lembayung.
"Lepasin," tegur Jenaka menepuk punggung Lembayung. Pasalnya lelaki itu malah menahan pinggang istrinya agar Jenaka tidak mengurai pelukannya. "Kalau kamu gini kapan masaknya?" Jenaka mendongak, menepuk punggung suaminya lebih keras.
Lembayung meringis, ia melepaskan Jenaka pada akhirnya. "Ada bayarannya nggak setelah aku bikinin kamu bubur ayam tengah malam gini?"
Jenaka membantu mencuci ayamnya. "Sama istri sendiri nggak boleh perhitungan, tahu!"
"Memang kamu tahu aku mau minta bayaran apa?" sahut Lembayung.
Jenaka mengerutkan dahi, menoleh sekilas sebelum lanjut mencuci ayam di dalam baskom. "Ada bayaran selain pake uang memangnya?" Kerutan di dahi Jenaka tambah tajam.
"Jen, masa iya aku minta bayaran berupa uang ke istri sendiri. Bukannya sombong, aku berani menjamin hidup kamu bakal enak kalau jadi istri aku."
"Terus?" timpal Jenaka.
"Masa nggak ngerti sih, Jen?" Lembayung berkacak pinggang.
"Karena aku memang nggak ngerti. Kamu terlalu mendalami bahasa perempuan sampai bikin ribet sendiri," cibir Jenaka. "Yang jelas aja. Kamu mintanya apa," tambahnya.
Mau dibilang Jenaka pura-pura, tapi Jenaka memang seringnya kurang peka. Sementara Lembayung tidak mau banyak bicara. Jadi, ya begitu....
"Lembayung, ih!" Jenaka membungkam bibirnya sendiri. Ia hampir saja berteriak. Bisa-bisanya lelaki itu meremas bokongnya di saat mereka sedang ada di dapur. Kalau ada yang melihat bagaimana? Jenaka juga yang malu.
"Paham, nggak?" goda Lembayung.
"Nggak!" Wajah Jenaka menjadi merah padam.
Ia kesal, ia memukuli lengan Lembayung. Kebiasaan sekali lelaki itu menggodanya tidak tahu tempat. Dulu Jenaka pikir Lembayung orang yang pendiam, keren, kelihatan dingin saat ditatap sekilas. Namun Jenaka merasa tertipu. Lembayung tidak sependiam itu. Apa lagi tangannya....
"Sana... masak, buruan." Jenaka mendorong punggung suaminya.
"Tapi udah paham kan maksudnya, Jen?" Lembayung menahan kekehannya walau sebenarnya ia tidak tahan untuk tertawa juga.
"Tidur sendiri, ya? Mau?" Jenaka mengancam Lembayung. "Aku mau tidur di kamar lama aja kalau gitu."
"Aku robohin pintunya," celetuk Lembayung santai, tapi menyeramkan juga saat Jenaka dengar. Bayangkan saja pintu kamar lama Jenaka mau dirobohkan. "Besok, aku pasang gembok yang gede pintunya biar kamu nggak bisa masuk ke kamar lama tiap kali ngambek sama aku," tambahnya, melirik Jenaka sekilas.
To be continue---
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayo, Kita Cerai!
Fiksi UmumLembayung dan Jenaka telah menikah tiga tahun lamanya. Saling mencintai bukan alasan keduanya berakhir menikah dan menghabiskan waktu tiga tahunnya untuk berada dalam satu atap. Mereka, korban perjodohan oleh orang tua. Tiga tahun berselang, Lemba...