Terjadi sebuah skandal besar yang dilakukan istri dari aktor terkenal di Indonesia. Istri sang aktor diketahui berselingkuh dengan lelaki sepuluh tahun lebih muda darinya. Perselingkuhan itu telah terjalin sejak lima tahun lalu. Dan kali ini, perselingkuhannya dengan lelaki brondong-nya telah terendus oleh si aktor.
Jelas saja sang aktor tidak tinggal diam saja. Ia sengaja pura-pura melakukan syuting di luar negeri kepada istrinya. Lalu kembali lima belas menit kemudian ke rumah dengan alih-alih ada barang yang tertinggal. Dan benar saja, ketika ia pulang dan membuka pintu kamar, aktor tersebut memergoki istrinya tengah bergumul di bawah selimut dengan lelaki selingkuhannya, di kamar mereka pula.
Tentu, si aktor tidak tinggal diam melihat aksi tak senonoh mereka berdua. Ditariknya selingkuhan istrinya, dihajarnya sampai babak belur, kemudian dilarikan ke rumah sakit terdekat.
Dua hari berlalu sejak penganiayan yang dialami Aufal, lelaki itu mendatangi kantor Dozen Wirlana. Ia berniat menjadikan Dozen sebagai pengacaranya—untuk melawan Bram Jorgi—aktor yang telah menganiaya Aufal.
Iya, Aufal teman SMA Jenaka. Orang yang telah menghina Jenaka selama ini adalah seorang simpana wanita kaya yang juga istri dari aktor ternama di Indonesia.
Siapa yang tidak tahu Brams? Semua orang tahu lelaki itu. Penggemarnya berasal dari berbagai kalangan. Mulai dari yang muda, orang tua, bahkan remaja berusia belasan tahun. Bahkan setelah skandal itu terkuak ke seluruh antero, mereka mendukung Brams yang menganiaya selingkuhan istrinya. Menurut mereka, istrinya sama sekali tidak tahu diri. Sudah diberi suami tampan, mapan, setia, tapi malah selingkuh dengan lelaki muda yang tidak ada seujung kuku pun dari Brams Jorgi.
Aufal memilih Dozen, karena ia yakin, Dozen akan membuatnya menang dari Brams. Aufal bahkan bisa mempermalukan lelaki itu karena sudah menganiaya dirinya.
Dozen duduk di kursi dan mendengarkan kronologi-nya dari Aufal. Lelaki muda di depannya menceritakannya dengan menggebu-gebu, ketara sekali sangat dendam dengan sang aktor.
"Saya bisa bantu kamu. Ini masalah mudah," kata Dozen Wirlana setelah Aufal selesai menjelaskan. "Tapi saya punya syarat untuk kamu."
"Syarat?" gumam Aufal. "Katakan apa aja syaratnya, Pak. Saya pasti akan lakukan asal Pak Dozen mau menjadi pengacara saya."
"Minta maaf kepada menantu saya," ujar Dozen, santai.
"Menantu Pak Dozen?" Aufal mengerutkan dahi. "Saya punya salah apa sama menantu Bapak? Bahkan saya aja nggak tahu siapa menantu Pak Dozen."
"Kamu kenal. Bahkan sejak kalian remaja," timpal Dozen.
Dozen Wirlana selalu memantau anak lelaki dan menantunya selama ini. Apa yang dilakukan Lembayung akhir-akhir ini juga terendus oleh Dozen.
Penangkapan seorang model bernama Cantika Dewi beberapa waktu lalu, juga atas campur tangan Lembayung. Dozen tahu maksud Lembayung ingin memberi pelajaran kepada teman-teman Jenaka. Menantunya itu dibully, tidak cukup saat masih sekolah, saat datang ke acara reuni pun, Jenaka juga menjadi bulan-bulanan mereka sepanjang acara.
Aufal, adalah orang yang menjadi penyebab Jenaka dibully pada awalnya. Jika saja Aufal tidak mempermalukan Jenaka waktu itu, Jenaka tidak mungkin dimanfaatkan oleh Cantika dan teman-temannya, lalu menjebak Jenaka untuk mereka permalukan.
Sebagai seorang Ayah, Dozen tengah berusaha menghentikan kemarahan Lembayung. Yang dilakukan Lembayung kepada Cantika, dan Aufal sekarang, tidak bisa dibenarkan. Lembayung sama saja menjebak orang lain.
"Kamu pasti masih ingat sama anak perempuan yang pernah menyatakan cinta sama kamu waktu SMA, kan." Dozen menatap Aufal, lurus.
Kerutan di dahi Aufal semakin tajam. Ia berusaha mengingat siapa yang Dozen Wirlana maksud. Jika ditanya siapa saja perempuan yang pernah ditolaknya, jelas ada banyak. Aufal bahkan tidak mengingat mereka satu per satu. Kecuali...,
"Jenaka?" tebak Aufal, ragu.
Dozen mengangguk, ia mengatakan, "Benar. Jenaka menantu saya."
"Gimana bisa?" Aufal terkejut.
Gantian Dozen yang mengerutkan dahi. "Kenapa? Ada yang aneh kalau Jenaka menantu saya? Asal kamu tahu, untuk kasus kamu ini, keputusannya ada di tangan Jenaka. Saya akan tanya pada Jenaka, selama dia nggak memberi kamu maaf. Saya nggak bisa bantu kamu."
***
"Saat SMP, Kak Nasti punya teman dekat. Tapi, teman Kak Nasti punya citra yang buruk dari orang-orang."
"Buruk kenapa?" tanya Jenaka.
"Ada rumor yang beredar, teman Kak Nasti punya banyak kenalan om-om," lanjut Malaka, ragu. "Pernah suatu hari waktu Ayah dirawat di rumah sakit setelah kecelakaan di tempat kerja, Kak Nasti nggak sengaja ketemu sama temannya. Di situ Kak Nasti jadi sering cek HP, nggak lama setelah kembali ke Jakarta, Kak Nasti kirim uang dalam jumlah banyak banget. Waktu aku tanya, Kak Nasti bilang dia dapat kerjaan enak, gajinya banyak."
Malaka mengeluarkan secarik kertas dari saku bajunya. Ia memberikan sebuah alamat dan nomor telepon teman Nasti yang ia maksud tadi. "Aku udah catat nomor dan alamatnya di Jakarta. Yang aku tahu, namanya Angel. Kayaknya dia ganti nama di sini."
Jenaka duduk terdiam memandangi secarik kertas di tangan, sesekali menatap ke sebuah pagar rumah berwarna hijau. Ia menyambar ponsel, menelpon ke nomor perempuan bernama Angel.
Diam-diam Jenaka memeriksa file kasus Nasti yang disimpan Lembayung di ruang kerjanya. Dari file itu, Jenaka tahu kalau Nasti bisa mengenal lelaki yang disebut Lembayung memiliki 'kuasa', ternyata dikenalkan oleh salah satu teman Nasti. Jenaka memfoto file itu, kemudian mencocokkan dengan informasi yang di ceritakan Malaka.
"Mbak Angel udah lama pindah, Mbak. Mungkin... dari tiga tahun lalu."
"Kira-kira Ibu tahu di mana Angel pindah nggak, ya?"
"Wah, nggak tahu saya, Mbak. Dia pindah aja kayak buru-buru waktu itu."
Jenaka menyandarkan punggung ke kursi kemudi. Ia menemukan jalan buntu karena Angel telah pindah, dan Jenaka tidak tahu harus mencari perempuan itu ke mana. Jenaka menanyakan apa Malaka memiliki foto Angel? Malaka menggeleng, bahkan Malaka hanya menatap Angel sekilas saat perempuan itu sempat menjenguk ayahnya waktu itu.
Ia membuka salah satu aplikasi sosial media-nya. Ia mencari nama Angel, dan muncul banyak nama yang sama. Jenaka tidak mungkin menanyakan akun bernama Angel itu satu per satu apakah mengenal perempuan bernama Nasti. Ada terlalu banyak, dan Jenaka tidak akan sanggup.
Ponsel Jenaka berdering ketika ia memeriksa tiga akun teratas bernama Angel. Ia melihat kontak Ayah mertuanya muncul di layar.
"Iya, halo, Pa?" Jenaka menempelkan ponsel ke telinga kanan, menyapa Ayah mertuanya. "Aku?" gumam Jenaka menatap ke sekeliling. Ia tidak mungkin memberitahu Ayah mertuanya jika ia mencari seseorang yang berhubungan dengan kematian temannya. "Baru dari rumah penampunhan. Mau pulang buat nemenin Lembayung makan siang di rumah." Jenaka manggut-manggut mendengar suara Dozen Wirlana. "Ke kantor Papa? Sekarang? Bisa, sih... ya udah, aku berangkat ke sana sekarang ya, Pa."
Sambungan berakhir. Tumben sekali Ayah mertuanya menyuruh Jenaka pergi ke kantor. Jenaka mengirim pesan kepada Lembayung agar tidak pergi dulu. Jenaka brniat pulang bersama-sama, atau mungkin makan di luar bersama Ayah mertuanya juga.
To be continue---
Kalau bab ini komen-nya turun lagi, bab berikutnya akan aku update di platform berbayar, di Karyakarsa. Jadi setiap kalian baca per-bab, kalian akan dikenakan biaya.
Tinggal pilih aja, Karyakarsa, atau langsung ebook aja. Padahal kalau kalian rajin komen kayak sebelumnya, sehari aku bisa update 3-4 kali, lho. Kurang royal apa aku sama kalian? Masa, kalian bisanya cuma nagih kapan update, tapi komen aja males.
JANGAN PERNAH MENINGGALKAN KOMEN NEXT, LANJUT, SEMANGAT, DAN MAKASIH UPDATE
Aku selalu wanti-wanti biar nggak ada yang komen kayak di atas. Tapi kayaknya masih aja ada yang bebal.
Aku nggak minta komen kalian harus ratusan. Nggak. Minimal tuh stabil. Dan komen lah sesuai isi cerita.
![](https://img.wattpad.com/cover/312717780-288-k913458.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayo, Kita Cerai!
General FictionLembayung dan Jenaka telah menikah tiga tahun lamanya. Saling mencintai bukan alasan keduanya berakhir menikah dan menghabiskan waktu tiga tahunnya untuk berada dalam satu atap. Mereka, korban perjodohan oleh orang tua. Tiga tahun berselang, Lemba...