"Gue udah maafin lo dari lama."
Aufal menghela napas lega. Namun, tidak bertahan lama karena setelahnya, ia terkejut mendengar kata-kata Jenaka.
"Tapi gue nggak bakal terima Papa buat bela orang yang memang salah." Jenaka mengatakannya dengan nada dingin, menatap ke arah Ayah mertuanya yang duduk di kursi seberang. "Selama ini Papa punya citra yang bagus di mata masyarakat. Dan gue tahu, Papa selalu membela orang yang memang membutuhkan, orang yang nggak pernah mendapat keadilan."
Dozen tersenyum bangga. Ia menambahkan kata-kata Jenaka. "Kamu sudah dengar jawaban dari Jenaka sendiri, kan? Dia dengan lapang dada memaafkan kamu. Tapi dia nggak memberi saya izin untuk membantu kamu."
"Ada banyak pengacara di negara ini. Pergunakan uang lo untuk membayar pengacara lain. Apa lo nggak malu meminta pertolongan sama orang yang lo hina selama ini?" Aufal mengepalkan kelima jarinya, menahan geram, ia merasa dipermainkan oleh Dozen Wirlana dan Jenaka. "Gue nggak suka kekerasan. Tapi gue dukung Brams Jorgi mukul lo karena lo memang salah. Harusnya lo pergi dan terima kasih sama Brams karena dia nggak bunuh lo."
Jenaka tidak pernah menaruh dendam kepada orang-orang yang telah menyakiti dirinya. Namun kenangan buruk yang ia dapatkan sejak masa sekolah tidak akan bisa ia lupakan seumur hidupnya.
Ia telah memaafkan Aufal mau pun Cantika dan teman-temannya. Tapi, dengan membiarkan Ayah mertuanya membela orang yang salah, itu sama seperti ia membela orang yang berbuat salah juga. Apa yang diterima Aufal sekarang, jelas karena perbuatannya sendiri. Aufal berselingkuh dengan wanita yang telah bersuami, bahkan sejak lima tahun lalu. Ditemukannya dalam keadaan bergumul pula. Jika itu Jenaka, maka Jenaka tidak akan berani muncul ke permukaan. Bagaimana reaksi keluarga Aufal dan istrinya? Aufal sudah menikah dari lima tahun yang lalu. Namun, pernikahan itu malah dikhianatinya. Aufal definisi suami paling menjijikan yang pernah Jenaka temui.
"Pintu keluar ada di sana," tunjuk Dozen ke pintu. "Nggak perlu saya antar, kan?"
Aufal beranjak dari kursi sembari menatap Dozen dan Jenaka bergantian. Tatapan penuh amarah, malu, menjadi satu. Aufal memilih keluar dari ruangan Dozen Wirlana.
Lembayung baru saja membuka pintu sebelum Aufal menariknya. Kedua lelaki itu berpapasan, melempar tatap sekitar dua detik sebelum Aufal berjalan melewatinya dengan langkah lebar.
"Yang kamu lakuin udah bener, Jen." Dozen Wirlana mengacungkan Ibu jarinya. Menertawakan ekspresi Aufal yang kalah telak.
Jenaka menepuk-nepuk dadanya. Ia menyambar segelas air lalu meneguknya hingga tersisa setengah. "Semua akan baik-baik aja kan, Pa? Aku merasa.... kata-kata aku tadi bisa menyakiti perasaan dia."
Dozen menggeleng, meyakinkan jika keputusan Jenaka sudah benar. "Dia udah nyakitin kamu bahkan sejak dulu. Kamu nggak perlu memikirkan perasaan orang yang udah jahat sama kamu. Papa pikir, kamu perlu belajar sama Sina."
Jenaka tertawa kecil, lantas pura-pura mendengus. Untuk satu itu, Jenaka angkat tangan. Tidak ada yang bisa menandingi seorang Sina Mentari dalam mempermainkan musuhnya. Jenaka saja merasa ngeri.
"Jadi makan siang di luar, kan?" Lembayung bergabung bersama istri dan ayahnya. Ia pura-pura tidak mengenali Aufal, ia mengarahkan jari telunjuknya ke pintu. "Yang barusan keluar dari ruangan Papa, itu siapa? Kok, kayak nahan marah."
Dozen beranjak, mengancing jas abu-abunya. "Bukan siapa-siapa. Nggak penting juga."
Lembayung memerhatikan gerak-gerik ayahnya. Sementara itu Dozen Wirlana keluar lebih dulu sebelum anak dan menantunya.
Tangan kanan Lembayung terulur memeluk bahu Jenaka. "Kalau nggak ada keperluan sama Papa, kenapa bisa masuk ke sini? Kamu tahu nggak, Jen?"
Jenaka menepuk punggung tangan Lembayung. "Tangan kamu. Ini di kantor," peringatnya. "Aku nggak tahu siapa cowok tadi. Pas aku masuk ke sini, udah ada cowok itu."
Sepertinya Lembayung mencium sesuatu. Ayah dan istrinya menyembunyikan rahasia? Rasanya aneh saja kalau Jenaka tiba-tiba diminta datang kemari. Kalau memang ayahnya ingin makan siang bersama, kenapa tidak bertemu di tempatnya langsung?
***
Selesai makan siang, Jenaka izin pergi ke toilet sebelum pulang ke rumah. Ia meninggalkan suami dan Ayah mertuanya di meja cuma berdua.
Jenaka terus memikirkan kata-katanya tadi kepada Aufal. Walau Aufal sudah jahat padanya, apa kata-katanya tidak tidak cukup keterlaluan? Tapi, Jenaka juga tidak rela kalau Ayah mertuanya membela orang yang salah.
Jenaka meletakkan tasnya ke atas meja westafel, mencuci kedua tangannya sembari menatap bayangannya di cermin. Dalam hati ia tidak berhenti bergumam, 'woah' setiap mengingat masalah yang tengah dihadapi Aufal. Kehidupan manusia memang tidak bisa ditebak. Orang yang kita anggap sempurna, nyatanya tidak jauh berbeda seperti seorang simpanan wanita kaya raya.
Saat masa sekolah dulu, Aufal sangat terkenal dari semua kalangan. Mau itu siswa dan siswi, guru, sampai siswi dari sekolah seberang saja pasti rela mengirim hadiah untuk Aufal. Jenaka pikir, daripada menjadi simpanan wanita kaya, kenapa Aufal tidak memanfaatkan wajahnya yang tampan untuk menjadi model, aktor, atau bahkan selebgram seperti Cantika? Bukannya juga bisa menguntungkan? Banyak kok orang-orang yang bekerja di industri itu menjadi kaya raya. Sudah banyak contohnya. Apa, Aufal tipikal lelaki yang malas bekerja?
Jenaka menggelengkan kepala. Ia menepuk kening, mengingatkan dirinya sendiri agar tidak memikirkan masalah orang lain. Ia punya masalah sendiri, jadi tidak perlu seperhatian itu pada masalah Aufal.
Di tangan kanannya menenteng tas merah mudanya keluar dari toilet perempuan. Jenaka melihat arloji di tangan. Karena ia membawa kendaraan sendiri, ia bisa pulang tanpa harus meminta diantar Lembayung.
"Papa tahu semua ini ulah kamu."
Jenaka menarik dirinya agak jauh sebelum mencapai mejanya. Ia mendengar Lembayung berbicara serius dengan Dozen.
"Penangkapan Cantika, dan Aufal, ada campur tangan kamu, kan?"
Sepasang mata cokelat Jenaka mengerjap. Ia menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga, menajamkan pendengarannya.
"Sejak kapan kamu tahu Jenaka pernah dibully sama mereka? Papa pikir, kamu nggak peduli sama Jenaka selama ini."
Dozen Wirlana selalu bisa membuat anak semata wayangnya kehilangan kata-kata. Lembayung sebenarnya tidak terkejut kalau ayahnya akhirnya mengetahui semua rencananya.
"Waktu Jenaka pergi ke acara reuni itu, aku lupa buat jemput dia. Jenaka pulang sambil nangis. Jadi, aku cari tahu diam-diam di belakang dia." Lembayung menjelaskan awal mulanya. "Awalnya aku pikir dia nangis karena diserempet mobil. Tapi setelah aku cari tahu ke tempat acara reuni itu keesokkannya, aku lihat dari rekaman CCTV, Jenaka dibully teman-temannya."
"Makanya kamu beri mereka pelajaran?" tanya Dozen. "Dengan menjebak mereka?"
"Pa," keluh Lembayung. "Aku nggak sepenuhnya menjebak mereka. Aku cuma menunjukkan kalau mereka nggak sebaik itu. Mereka tertangkap, karena mereka memang salah."
Dozen menghela napas. "Lembayung," gumamnya. "Wajar seorang suami marah ketika tahu istrinya disakiti orang. Tapi cara kamu ini, nggak bisa Papa benarkan." Dozen menasihati anak lelakinya. Harapannya. "Kamu bisa membalas perbuatan mereka dengan hal lain."
"Dengan cara apa?" desis Lembayung.
"Ada banyak kalau kamu mencaritahu. Kalau Jenaka tahu kamu ikut bertanggungjawab atas penangkapan Cantika, dan masalah Aufal, Papa pikir, Jenaka pasti kecewa. Dia nggak mau kamu berbuat jahat ke orang lain."
Satu jari Dozen menunjuk ke belakang punggung Lembayung. "Selesaikan masalah kalian berdua. Jangan ada rahasia lagi. Sebagai suami dan istri harus saling terbuka, apa pun masalah yang kalian hadapi."
Lembayung menjadi panik setelah menangkap keberadaan Jenaka di belakangnya. "Aku akan jelasin, Jen. Semuanya," ujar Lembayung.
To be continue---
Usahakan komen-nya jangan turun lagi, ya. Selama terus stabil, aku akan update cerita ini sampai selesai versi wattpad. Kalau turun lagi, aku akan pindah cerita ini ke Karyakarsa.
DILARANG KOMEN NEXT, LANJUT, SEMANGAT, MAKASIH UPDATE!
Aku udah capslock, lho. Kalau ada yang masih bebal keterlaluan, sih.
![](https://img.wattpad.com/cover/312717780-288-k913458.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayo, Kita Cerai!
Narrativa generaleLembayung dan Jenaka telah menikah tiga tahun lamanya. Saling mencintai bukan alasan keduanya berakhir menikah dan menghabiskan waktu tiga tahunnya untuk berada dalam satu atap. Mereka, korban perjodohan oleh orang tua. Tiga tahun berselang, Lemba...