Rasa Putus Asa Jenaka

11.6K 878 53
                                    

Jenaka menatap wajahnya di cermin. Ketika pandangannya jatuh ke bibirnya sendiri, Jenaka teringat lagi kejadian di bioskop tadi. 

Sungguh, Jenaka tidak habis pikir. Lembayung bersikap seolah tidak terjadi apa-apa di antara mereka. Jantung Jenaka berdetak sangat kuat. Antara bingung Lembayung menciumnya, dan takut ketahuan oleh penonton yang lain. Bayangkan saja ada penonton yang menegur ulahnya dan Lembayung. Jenaka tidak bisa membayangkannya. Akan semalu apa mereka. Jenaka cuma takut dianggap pasangan mesum oleh orang-orang.

Ia menghidupkan air keran, membasahi wajahnya sekali lagi. Jenaka melihat rona pada kedua pipinya. Jenaka agak mengangkat wajah, kelima jarinya bergerak mengipasinya, sampai tangan Jenaka menjadi pegal.

Jenaka menyambar handuk, sambil mengeringkan wajahnya, Jenaka tidak berhenti menggerutu. Seharusnya Lembayung meminta maaf padanya. Tidak izin, tidak juga merasa bersalah. Jenaka heran, sebenarnya Lembayung manusia model apa, sih?

Tangan kanan Jenaka menggapai pintu kamar mandi. Ia berniat keluar setelah cukup lama di sana. Untuk mencuci wajahnya saja, baru kali ini Jenaka menghabiskan waktu lebih dari tiga puluh menit. Jenaka mengintip keluar, samar, ia mendengar suara Lembayung sedang berbicara.

Di atas tempat tidur, Lembayung mengobrol dengan ibunya di telepon. Sewaktu ia dan Jenaka pergi menonton ke bioskop, ternyata Ibu Lembayung datang kemari. Membawa makan-makanan kesukaan Jenaka, tidak lupa membawakan menantunya vitamin. Terakhir kali Melati bertemu Jenaka di rumahnya, kondisi Jenaka kurang baik. Melati jadi kepikiran terus. Takut anak lelakinya tidak peka terhadap kesehatan Jenaka.

"Jangan lupa perhatiin istri kamu, Yung. Jenaka itu bukan orang asing. Dia istri sah kamu. Jangan pikirin diri sendiri," nasihat Melati. "Pokoknya jangan sampai ada kejadian kayak waktu itu lagi. Sebagai suami, kamu harus lebih perhatian. Kalau Jenaka malas makan, kamu harus bisa bujuk dia."

"Iya, Ma," angguk Lembayung.

"Jangan iya-iya, aja. Ingat pesan Mama ke kamu, ya."

Langkah hati-hati Jenaka terendus Lembayung. Perlahan lelaki itu mengangkat kepala, menatap Jenaka, tapi Jenaka memalingkan wajah. Jenaka bingung harus terus berdiri atau berbaring di samping lelaki itu.

"Iya, Ma. Nanti aku bujuk Jenaka," ujar Lembayung, mengangguk patuh.

"Apa?" Jenaka menggerakkan bibir tanpa suara.

Jenaka masih saja berdiri agak jauh dari ranjang. Ia meremas handuk kecil di tangan, menatap ranjangnya dengan ragu. Atau ia pindah ke kamar lamanya saja? Suasananya mendadak kikuk, Jenaka tidak bisa berkutik padahal cuma ditatap begitu.

"Tadi Mama ke sini bawain makanan kesukaan kamu. Sama vitamin juga. Tapi kita lagi keluar, jadi dititipin ke Bi Sumi." Lembayung menjelaskan apa yang dikatakan Melati di teleponnya. "Aku disuruh ingetin kamu makan, dan minum vitamin supaya nggak pingsan lagi kayak waktu itu."

Tidak ada gunanya minum vitamin, obat, atau apa pun itu. Toh, pada akhirnya Jenaka akan tetap meninggal jika waktunya sudah tiba.

Setelah Jenaka mendapatkan hasil pemeriksaannya, ditambah diagnosa Dokter mengatakan—hidupnya tinggal tiga bulan lagi. Jenaka memutuskan tidak mau pergi ke rumah sakit, berobat, minum obat, karena pada akhirnya Jenaka tidak bisa diselamatkan. Jenaka menyerahkan semuanya kepada Tuhan. Jika Tuhan memang menuliskan takdirnya akan meninggal dalam waktu dekat, Jenaka cuma bisa pasrah. Kalau Tuhan sudah berkehendak, manusia bisa apa?

"Simpan aja vitaminnya," ujar Jenaka, cemberut.

"Mama jauh-jauh datang ke sini buat antar vitamin kamu, lho."

"Iya, aku akan bilang makasih ke Mama. Aku baik-baik aja." Ketika menggumamkan kalimat terakhirnya, suara Jenaka berubah putus asa. Namun ia berusaha menguasai diri, tidak ingin terlalu terbawa perasaan.

Ayo, Kita Cerai! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang