Luapan Emosi Jenaka

13.3K 1.1K 62
                                    

"Tutup mulut kamu yang nggak punya sopan santun itu!" tunjuk Ibu mertua Alisa. "Di mana hati kamu berani banget bilang serius pada perempuan yang baru ditinggal meninggal sama suaminya?! Reeno juga teman kamu!"  

Lembayung tidak bisa menghindar dari kemarahan Ibu mertua Alisa. Setelah pipinya ditampar begitu keras, Ibu mertua Alisa masih memarahinya. Satu per satu tetangga di kanan kiri rumah Alisa mulai keluar, berdatangan, mengelilingi pagar rumah Alisa.

Ibu mertua Alisa terlanjur malu dengan gosip yang beredar di sekitar rumahnya. Alisa dan kedua mertuanya berada di perkampungan yang sama, hanya berbeda gang saja. Alisa dan Ibu mertuanya juga belanja di pasar yang sama.

Beberapa hari lalu Ibu mertua Alisa ditegur oleh salah satu penjual sayur di pasar. Wanita itu menanyakan kenapa Alisa dibiarkan menempel dengan lelaki lain yang bukan siapa-siapanya. Bukan adik, Kakak, bahkan kerabat jauh. Si penjual sayur yang mengenal dekat keluarga Reeno pun menyarankan agar Alisa dinasihati. Semua orang jadi membicarakan Alisa. Semula Alisa dikenal sebagai perempuan kalem dan pendiam, kini dicap sebagai perempuan tidak tahu malu. Suami baru meninggal, sibuk berpacaran dengan lelaki baru.

Mendengar teguran dari si penjual sayur, Ibu mertua menjadi murka. Saat ia dinasihati tentang menantunya, Ibu mertua Alisa masih bisa menahan diri. Ia tidak perlu marah karena kenyataannya Alisa dekat dengan lelaki bernama Lembayung. Yang perlu ia marahi adalah Alisa. Kalau perlu membuat perhitungan dengan keduanya.

Dan, tercapai lah keinginan Ibu mertua Alisa bertemu dengan Lembayung. Kedatangannya kemari untuk menjemput Nilo. Ayah dan Ibu mertua Alisa berniat mengajak Nilo pergi jalan-jalan. Tapi, begitu ia membuka pagar rumah menantunya, ia disuguhi adegan dramatis antara Alisa dan Lembayung. Sontak saja Ibu mertua Alisa meradang. Ingin sekali menghajar mereka berdua detik itu juga.

"Dilihat dari penampilan kamu, jelas kamu orang berpendidikan. Tapi sikap kamu kayak orang nggak punya adab!" maki Ibu mertua Alisa, menunjuk Lembayung berapi-api. "Kamu tahu? Setiap hari kamu bolak-balik datang ke sini malah bikin saya dan Ayah mertua Alisa menjadi malu! Kamu suka sama Alisa? Tapi tingkah kalian bikin nama Alisa menjadi tercoreng! Kalau kamu nggak tahu, atau pura-pura nggak tahu, biar saya kasih tahu. Alisa dicap jadi perempuan nggak tahu malu, nggak tahu diri, karena baru ditinggal pergi suami, sudah mepet lelaki lain. Kalau ada kejadian nggak enak begini yang disalahin bukan kamu. Malah Alisa sendiri!"

Suasana menjadi ramai. Tadinya cuma empat lima orang di depan pagar rumah. Kini ada lebih dari sepuluh orang. Mereka menyaksikan Lembayung dimaki, diumpat, bahkan disumpah-serapahi oleh Ibu mertua Alisa. Sebagian tetangga yang didominasi Ibu-ibu sontak mendukung ketegasan Ibu mertua Alisa. Mereka mulai resah karena Lembayung sering berada di rumah Alisa. Maunya menegur Alisa, namun mereka teringat kedua mertua Alisa masih tinggal di perkampungan yang sama.

"Pergi kamu dari sini! Saya nggak mau lihat muka kamu lagi!" bentak Ibu mertua Alisa.

Untuk pertama kalinya, di usia Lembayung yang kedua puluh sembilan tahun, baru kali ini ada orang yang berani mempermalukan dirinya. Lembayung menjadi tontonan banyak orang. Sebelumnya di gerai ayam, sekarang di rumah Alisa. Bahkan orang-orang yang menonton di belakang sana seolah mendukung Ibu mertua Alisa.

Kedua kaki Lembayung bergerak, badannya berputar meninggalkan rumah Alisa. Ia harus melewati kerumunan orang-orang untuk sampai ke mobilnya.

Baru ia akan membuka pintu, Lembayung disoraki. "Nggak yang lelaki, perempuan, sama-sama pengin digaruk kayaknya!"

Yang lain menyahut, "Kalau saya jadi Mas, saya nggak akan balik ke sini lagi. Saya perempuan aja punya harga diri. Apa lagi situ lelaki."

Lembayung mencenkram pegangan pintu. Menahan geram, rahangnya berubah kaku. Ia berada di situasi yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya. Dimaki di depan banyak orang, dipermalukan, dan sekarang ia malah disoraki.

***

Jenaha harus menahan sedikit waktunya karena Kara tiba-tiba datang. Kara dan Dozen Wirlana pergi ke ruang kerja, entah untuk urusan apa. Tapi sepertinya Ibu mertua Jenaka tahu apa yang akan dibahas Kara dan Ayah mertuanya.

Kara sudah pulang setelah menghabiskan makan siangnya. Sebelumnya Jenaka sudah memberitahu kalau kedatangannya kemari untuk membahas sesuatu. Sangat penting.

Dozen, Melati, dan Jenaka duduk bertiga di sofa. Jenaka melihat ada jarak di antara Ayah dan Ibu mertuanya. Jenaka menjilat bawah bibirnya, menghirup napas sebanyak mungkin sebelum ia memulai obrolan. Dari mana ia akan memulai? Jenaka tidak mungkin bicara dengan tiba-tiba seperti, "Pa, Ma, aku sama Lembayung mau cerai." atau, "Lembayung selingkuh, Pa, Ma. Aku nggak kuat lagi. Makanya aku minta cerai." atau mungkin, sekalian memberitahu kondisi kesehatannya. "Sebentar lagi aku mau mati, Ma, Pa. Aku nggak mau menghabiskan sisa-sisa hidup aku dengan menjadi istri Lembayung lebih lama." Jelas sangat tidak mungkin. Kalau begitu cara Jenaka menyampaikan, bisa-bisa Ibu atau Ayah mertuanya terkena serangan jantung. Lagi pula Jenaka tidak ingin dikasihani hanya karena ia akan meninggal sebentar lagi.

"Kamu mau ngomong apa, Jen? Kok kayak bingung gitu?" Melati menyadari gerak-gerik Jenaka yang gelisah. Sebagai Ibu mertua, Melati menyayangi Jenaka seperti anak perempuannya sendiri.

Jenaka sosok anak perempuan penurut, tidak banyak tingkah, dan manis. Melati cuma punya satu anak lelaki dari pernikahannya dengan Dozen Wirlana.

"Aku mau minta maaf sebelumnya sama Mama dan Papa," ujar Jenaka, memangku kedua tangan di atas pahanya. Seketika Jenaka merasakan badannya menggigil, tangannya menjadi dingin. Ia pikir, ia harus bisa. Lebih cepat ia mengatakan pada kedua mertuanya, maka ia dengan cepat lepas dari Lembayung.

"Jenaka!"

Jenaka menelan ludah, baru saja ia akan membuka mulutnya, tiba-tiba saja Lembayung datang kemudian meneriakkan namanya.

Jenaka bangun dari tempat duduk, menatap Lembayung dengan tatapan bingung. "Apa, sih?" Jenaka menegur suaminya, membuat mereka semua terkejut karena teriakkan Lembayung.

Lembayung menyambar tangan kanan Jenaka, membawa istrinya keluar dari rumah kedua orang tuanya. Sepanjang berjalan menuju ke halaman, pergelangan tangan Jenaka dicengkram sangat kuat, Jenaka berusaha menepis tangan Lembayung, tapi kekuatan Jenaka tidak ada apa-apanya.

Lembayung menyentak tangan Jenaka. Badan Jenaka tanpa sengaja terdorong, punggungnya menabrak badan mobil sampai perempuan itu meringis.

"KAMU GILA, YA!" pekik Jenaka menunjuk wajah Lembayung.

"Kamu yang gila!" balas Lembayung. "Maksud kamu apa, datang tiba-tiba terus bikin malu Alisa di depan banyak orang! Kamu bahkan nyiram dia sampai basah!"

Jenaka diam. Bukan. Ia menjadi diam bukan karena ketahuan mempermalukan Alisa. Karena kenyataannya Jenaka memang tidak melakukannya. Ia diam karena kaget dituduh Lembayung mempermalukan Alisa di depan umum.

"Kenapa diam? Itu ulah kamu, kan?! Iya, kan?!" bentak Lembayung.

PLAK!

"Jangan sembarangan ya, kamu!" tunjuk Jenaka.

Lembayung mendelik, ia masih saja kekeuh. "Itu faktanya kan, Jen? Kamu sengaja buntutin kita? Setelah aku nggak ada, kamu nyamperin Alisa?"

PLAK!

Jenaka menampar Lembayung sampai dua kali. Telapak tangan Jenaka sampai menjadi merah karena terlalu kuat menampar suaminya.

Air mata Jenaka tidak bisa ditahan lagi. Jenaka menyeka air matanya dengan tegar. Ia menurunkan tangan, seluruh tubuhnya menjadi gemetaran, panas, menjadi satu.

"Baru semalam aku setuju buat cerai dari kamu. Detik itu juga aku memutuskan buat nggak peduli apa pun yang berhubungan sama kamu. Kamu mau nikah sama perempuan lain? Silakan. Kamu mau jalan sama dia? Juga silakan. Apa pun yang kamu lakukan sekarang," ujar Jenaka menunjuk dada Lembayung. "Aku nggak peduli. Mungkin kita nggak pernah dekat selama tiga tahun menikah. Tapi dengan kita tinggal bersama, aku pikir kamu tahu aku tipikal orang kayak gimana. Buat apa aku datengin perempuan itu di saat aku setuju buat pisah? Nggak ada. Akhirnya kita tetap cerai."

Jenaka mengembuskan napas panjang. Ia menangis bukan karena ia akan berpisah dengan Lembayung. Ia hanya merasa sakit hati karena dituduh, padahal Jenaka tidak berbuat salah.  










To be continue---

Ayo, Kita Cerai! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang