Sebuah Titik Terang

9.2K 801 43
                                    

"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif."

Jenaka mencoba menghubungi lagi, dan hasilnya masih tetap sama. Nomor yang ia hubungi tidak aktif.

Ia kemudian mengetik sebuah pesan pantas mengirim ke nomor yang sama, dengan harapan agar si pemilik bisa membacanya setelah nomornya aktif. Jenaka berjanji tidak akan memberitahukan di mana keberadaan Malaka kepada keluarganya.

"Tenang dulu, Jen." Lembayung mengusap kepala Jenaka, meminta istrinya tenang.

Jenaka menghela napas, ia menggigiti ujung jarinya dengan tatapan tertuju pada layar. Berharap nomor Malaka segera aktif.

Semua keluarga Malaka tengah menunggu kabar dari Jenaka dan Dimar—karena cuma mereka berdua yang bisa dimintai tolong oleh keluarga Nasti.

Malaka adalah adik perempuan Nasti—berusia tujuh belas tahun—dikabarkan kabur dari rumah sejak satu minggu yang lalu. Jenaka dan Dimar baru tahu tadi pagi setelah dikabari oleh Ibu Nasti.

Jenaka tidak tega mendengar Ibu Nasti menangis meminta tolong padanya di telepon. Jenaka bisa mengerti betapa hancurnya perasaan kedua orang tua Nasti. Setelah Nasti meninggal, sekarang Malaka malah kabur.

"Sejak Nasti meninggal, Malaka jadi sering mengurung diri di kamar. Dia paling dekat sama Nasti. Dia mau pergi ke Jakarta buat cari pembunuh kakaknya," kata Ibu Nasti sewaktu di telepon.

Jenaka mengusap wajah, menghela napas panjang tanpa kentara. Ia tahu Malaka sangat dekat dengan Nasti. Begitu pun sebaliknya. Mungkin karena Malaka sudah besar, sudah bisa diajak bicara, berdiskusi, sementara kedua adik Nasti yang lain masih kecil. Kalau tidak salah, masih duduk di bangku sekolah dasar. Satu perempuan, dan si bungsu berjenis kelamin lelaki.

"Nasti punya keluarga jauh, atau Om dan Tante yang tinggal di sini?" tanya Lembayung.

Jenaka menggeleng. "Semua keluarganya Nasti ada di kampung. Tante, Om, dan semua sepupunya tinggal di kampung yang sama. Malaka pergi ke mana kalau gitu? Dia nggak punya pengalaman pergi ke luar kota."

"Sabar, Jen. Tenang dulu," ujar Lembayung. "Aku coba minta bantuan ke rumah penampungan Sina. Siapa tahu mereka ketemu remaja yang ciri-cirinya mirip sama adiknya Nasti."

Jenaka mengangkat ponselnya. Ia sudah berganti ponsel yang diberikan Ayah mertuanya. "Aku punya nomornya Kamya! Aku coba minta tolong ke dia, ya?"

Lembayung mengangguk. "Iya, kamu hubungi Kamya dulu kalau begitu."

***

"Tiga hari yang lalu, memang ada orang baru yang masuk ke rumah penampungan. Ciri-cirinya sama persis. Namanya Laka. Tapi apa mungkin? Karena kondisinya...,"

Jenaka bergegas pergi ke rumah penampungan setelah mendapat jawaban dari Kamya. Jika dilihat dari ciri-ciri yang disebutkan Jenaka sama persis, dan nama yang mirip, namun Kamya agak ragu jika Laka dan Malaka adalah orang yang sama. Masalahnya Laka yang dimaksud Kamya adalah seorang remaya yang tengah...,

"Dia hamil," beritahu Kamya, raut wajahnya ikut prihatin. "Salah satu orang yang kerja di sini nolongin dia waktu diganggu sekumpulan anak cowok di pinggir jalan. Waktu mau ditolong, dia malah nangis histeris." Kamya menjelaskan, kemudian ia menambahkan, "Bu Sila sampai datangin psikolog kemari secara khusus buat menangani Laka. Dan, Laka...,"

Kepala Jenaka bergerak ke samping, ia menunggu jawaban Kamya.

"Laka korban pelecehan," jawab Kamya, ia sampai harus menahan napas ketika mengatakannya.

Perasaan Jenaka ikut hancur. Ia memang anak tunggal, tidak punya saudara atau adik perempuan. Tapi, mengetahui kondisi Malaka, ditambah mengalami trauma atas kejadian yang menimpanya, Jenaka tidak kuasa menahan tangis.

Ayo, Kita Cerai! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang