Terdeteksi Dalam Bahaya

12.9K 1K 60
                                    

Selesai membayar barang belanjaannya, Dimar memeluk apa saja yang ia beli dari sebuah minimarket, lantas berjalan keluar menghampiri kedua teman perempuannya.

Jenaka dan Nasti duduk saling berhadapan, dengan kepala Nasti yang menunduk memandangi sepasang kakinya yang telanjang. Nasti menggerakkan kakinya, mendesah panjang, lantas tidak lupa menyerukan kata makian kepada Lembayung. 

Dimar melempar sepasang sandal jepit ke kaki Nasti. Sontak, Nasti menatap sandal tersebut. Tanpa bertanya lagi, Nasti mengeluarkan sandalnya dari dalam plastik, kemudia ia kenakan pada kedua kakinya.

Saking marahnya Nasti tadi, Nasti sampai tidak menyadari kalau sandal yang ia pakai lari-lari sudah copot. Tapi Nasti malah terus memakainya. Berjalan susah payah sampai diperhatikan oleh banyak pasang mata. Ia baru menyadari sandalnya sudah rusak ketika diseret keluar oleh Dimar. Sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan Lembayung, dengan tidak sopannya ia melempar kedua sandalnya yang telah rusak ke udara, hampir saja mengenai kepala orang-orang yang ada di sana.

Nasti menatap sepasang kakinya yang telah dihiasi sandal jepit berwarna putih. Ia tertawa, lebih tepatnya menertawakan dirinya sendiri. Mereka bertiga saling menatap, muka masam Dimar seketika berubah melihat tampang bodoh Nasti. Seperdetik kemudian, Jenaka ikut tertawa bersama Nasti dan Dimar.

"Gimana bisa gue temenan sama orang gila," umpat Dimar diselingi tawa geli. Ia menoyor kepala Nasti untuk kedua kalinya.

Nasti membalas Dimar, dengan menampar pipi Dimar agak kuat. "Lo udah dorong kepala gue sampai dua kali!"

"Jangan salah, Nas. Gue lakuin itu supaya lo sadar." Dimar menyisakan tawa. Ia melirik Jenaka, mencibir temannya satu lagi. "Ngapain lo ketawa, Jen? Tadi aja panik!"

Jenaka mengerucutkan bibir, namun detik berikutnya ia mendengus. "Gue takut Nasti diapa-apain aja. Dia cewek, lawannya cowok, siapa yang nggak ngeri kalau Nasti ngelawan Lembayung yang setinggi itu?" Tangan kanan Jenaka terangkat tinggi ke udara, seakan menunjukkan seberapa tinggi suaminya.

"Badan doang tinggi-tegap, kalau punya otak nggak dipake!" maki Nasti berapi-api. "Gue heran sama lo kenapa betah banget jadi istri dia sampai tiga tahun! Kok, nggak sadar-sadar lo, Jen?" ocehnya. Kalau alasan Jenaka bertahan karena Lembayung tampan dan pintar, rasanya masih banyak lelaki di atas Lembayung.

Ayo, lah. Jenaka memiliki wajah cantik, kepribadiannya baik, anak Kepala Jaksa, pula. Pasti ada banyak lelaki yang mengantre kalau Jenaka masih lajang. Lagi pula Jenaka aneh sekali. Di zaman yang apa-apa sudah modern, mau saja di jodohkan!

"Gue sama dia mau cerai."

Dimar dan Nasti saling menatap sekitar tiga detik. Keduanya kompak menatap Jenaka, kali ini perempuan itu terdiam, tersenyum tipis, nampak sekali sedih.

Nasti menepuk sebelah bahu Jenaka. Ia siap menghibur temannya. "Keputusan lo udah bagus, Jen! Gue dukung lo!"

Dimar justru bingung harus menanggapi seperti apa. Mungkin saja bercerai adalah keputusan yang terbaik bagi yang melihat. Contohnya seperti Dimar dan Nasti. Tapi, Dimar tahu betapa sedihnya Jenaka jika harus berpisah dengan Lembayung.

Jenaka memang tidak pernah memberitahu jelas bagaimana perasaannya kepada Lembayung. Namun, melihat seberapa sabarnya Jenaka bertahan, tentu Dimar bisa menemukan jawabannya.

Jenaka mencintai Lembayung.

Nasti melihat kedua temannya saling diam. Ia berteriak, mencairkan suasana yang tiba-tiba sendu. "Akh! Udah! Nggak semua perpisahan harus ditangisin. Kalau suami lo nggak baik, lo harus tunjukkin sama dia, kalau lo bakal lebih bahagia, bebas, nggak tertekan lagi! Buat apa nangisin orang yang nggak punya hati?" Nasti mengoceh panjang-lebar. "Udah, yuk. Kita cari makan. Gue mendadak laper karena tadi belum selesai. Keburu emosi karena Lembayung!"

Ayo, Kita Cerai! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang