"Jen, bangun, Jen..." Nasti menggoyangkan lengan Jenaka. "Lo mau tidur sampai kapan? Ayo, katanya lo mau bikin pesta buat merayakan perpisahan lo sama Lembayung!"
Suara itu jelas, tepukan di lengannya juga sangat terasa. Jenaka bangun dengan kepala yang pusing, hidung tersumbat akibat terlalu banyak menangis. Sepasang matanya perlahan dibuka, sosok perempuan berambut pendek ia lihat sedang duduk di tepi ranjang, menyunggingkan senyum ceria.
Jenaka sontak bangun, mengubah posisi menjadi duduk menatap tidak percaya. Di depannya sungguhan Nasti? Mata Jenaka berkaca-kaca. Ia mencondongkan badan ke depan, memeluk Nasti sangat erat.
"Jen! Gue nggak bisa napas," protes Nasti menepuk-nepuk punggung Jenaka, pura-pura batuk.
Jenaka tertawa sambil menangis. Saking senangnya Jenaka, ia sampai mencium pipi kanan Nasti. Sontak, Nasti menggosok pipinya, melayangkan protes terus menerus karena Jenaka menciumnya. Nasti kan geli kalau dicium sama-sama perempuan. Padahal harapannya selama ini ia bisa dicium lelaki tampan!
"Ini benar lo kan, Nas?" Kedua tangan Jenaka menangkup pipi Nasti, menggerakkannya ke kanan ke kiri.
Seperdetik kemudian, air mata Jenaka pecah. Ia menangis setengah tertawa bahagia. Nasti ada di depannya. Jenaka bisa memegang tangan Nasti, menyentuh pipi temannya, bahkan memeluknya untuk meyakinkan bahwa di depannya sungguhan Nasti.
"Lo kenapa deh, Jen?" tanya Nasti, bingung. "Diapain lagi lo sama Lembayung? Perlu gue hajar lagi dia, hah? Ayo, kita cari dia, Jen! Gue mau bikin perhitungan sama Lembayung pokoknya!"
Jenaka menggeleng. Ia menggenggam tangan kanan temannya. "Justru gue lagi senang banget, Nas. Senang banget!" serunya. "Karena lo baik-baik aja. Lo ada di depan gue sekarang!"
"Makanya lo harus janji buat tetap baik-baik aja biarpun gue udah nggak ada di samping lo."
Senyum di bibir Jenaka memudar. Nasti yang semula heboh, suasana yang ramai karena Nasti terus protes, mendadak menjadi sunyi. Jenaka tidak mendengar suara tawa bahkan tangisannya lagi.
"Apa yang terjadi sama gue, itu bukan salah lo atau Dimar. Lo tahu, kalian orang yang paling gue sayang setelah keluarga gue, kan?" Nasti tersenyum tipis. "Janji nggak nangis lagi? Gue sedih lihat lo gini, Jen."
"Nas... lo ngomong apa, sih?" Air mata Jenaka meleleh lagi.
Wajah Nasti berubah pucat, bibirnya tampak kering, Nasti juga lemas. Perlahan tangan Nasti yang digenggamnya mulai longgar. Nasti beranjak dari tempat duduk, berdiri di samping ranjang Jenaka.
"Lo mau ke mana, Nas? Lo di sini aja... temenin gue. Kalau lo pergi, gue gimana? Gue nggak punya teman cerita lagi..." Jenaka merengek, tidak kuasa menahan tangisnya begitu Nasti perlahan menjauh.
"Jen, hati-hati," pesan Nasti, tatapannya menjadi serius, seolah memberi peringatan. "Apa yang terlihat baik, belum tentu sama seperti aslinya. Jaga diri lo baik-baik, Jen. Gue pergi," gumam Nasti, melambaikan tangannya, tubuhnya semakin terasa jauh, Jenaka hendak berlari mengejar Nasti. Namun, sebuah suara memanggil. Seorang lelaku terus menyebut namanya, Jen....
Jenaka telah kembali ke dunia nyata, di mana tempat manusia tinggal. Ia menatap kedua tangannya sendiri, membolak-balikkannya, lantas menatap ke setiap sudut kamar. Semua terasa nyata, tapi, ternyata cuma mimpi?
"Jen..." Sedari tadi Lembayung menemani Jenaka setelah mengantar Dokter turun ke lantai bawah. Jenaka baru sadar setelah satu jam lebih pingsan.
"Nasti mana?" Lembayung menatap Jenaka prihatin. Sudah tiga hari berlalu Nasti ditemukan meninggal, Jenaka masih saja mencari Nasti setiap kali bangun tidur.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ayo, Kita Cerai!
Художественная прозаLembayung dan Jenaka telah menikah tiga tahun lamanya. Saling mencintai bukan alasan keduanya berakhir menikah dan menghabiskan waktu tiga tahunnya untuk berada dalam satu atap. Mereka, korban perjodohan oleh orang tua. Tiga tahun berselang, Lemba...