Menunggu Sampai Bosan

12.9K 1K 47
                                    

Jenaka memilih berbaring di atas sofa ruang tamu. Berjam-jam ia berada di posisi itu. Dimulai dari berselancar di media sosial, membaca artikel secara acak, kemudian melihat-lihat majalah yang menumpuk di atas meja. Lama-lama Jenaka juga bosan. Tapi ia bingung harus melakukan apa. Kalau ia pulang ke rumah, ia justru tambah kesepian. 

Dimar keluar kamar dengan ponsel yang menempel di telinga kanannya. Dimar memanggil Jenaka, menjawil bahu kanan temannya sebelum mengangsurkan ponsel.

"Apa?" tanya Jenaka mendongakkan kepala.

Dimar menggerakkan dagu menunjuk ponsel yang ia sodorkan. "Suami lo telepon."

"Ngapain?" sahut Jenaka, keki. "Dia salah makan apa sampai telepon lo."

"Nanyain keadaan lo," jawab Dimar. "Buruan lo ngomong sama Lembayung. Gue nggak mau dikira manas-manasin lo."

Dimar meletakkan ponselnya ke atas meja sebelum pergi. Jenaka tidak kunjung berbicara dengan Lembayung, padahal lelaki itu sudah lama menunggu. Bisa dibayangkan sekesal apa Lembayung padanya saat ini.

Jenaka menghidupkan spiker ponsel milik Dimar yang sengaja ditinggal lelaki itu padanya. Sembari merebahkan badan, Jenaka menyahut ala kadarnya.

"Jenaka...,"

Jenaka tahu Lembayung sedang kesal padanya sekarang. Bisa ia dengar lelaki itu menarik napas panjang lalu mengembuskannya. Kenapa? Kesal? Seharusnya Lembayung senang karena Jenaka tidak berniat merepotkannya. Jenaka lebih memilih merayu Dimar agar mau menemaninya pergi ke klinik untuk mengobati lukanya.

"Bisa nggak sih, kamu bertindak dewasa sesuai usia kamu?" geram Lembayung.

"Nggak usah panjang-panjang kalau ngomong. Langsung ke intinya aja," sahut Jenaka, cuek.

"Kamu di mana?" tanya Lembayung tanpa basa-basi. "Barusan aku telepon ke rumah, dan Bi Sumi bilang kamu belum pulang sampai sekarang."

Jenaka mendengus kasar. "Urusannya sama kamu apa? Jangan sok peduli. Sebentar lagi kita pisah. Apa yang aku lakuin sekarang nggak ada urusannya sama kamu. Kita jalani hidup masing-masih kayak dari awal menikah."

Lembayung menghela napas sekali lagi. "Lima belas menit lagi aku jemput. Sampai di sana, kamu harus pulang sama aku."

Jenaka mengalihkan pandangannya dari ponsel. Menoleh ke meja, menatap pada ponsel Dimar yang ia biarkan tergeletak. Jenaka bangun lalu duduk dengan posisi kedua tangan menarik rambutnya sendiri.

Sejak kapan Lembayung peduli padanya? Rasanya, tiga tahun mereka menikah dan tinggal dalam satu atap, baru sekarang Lembayung menanyakan di mana keberadaannya.

"Akh!" Jenaka menarik ujung rambutnya, mengigitinya sebagai pelampiasan kekesalannya.

***

Tidak jauh berbeda dari Jenaka, Dimar sama herannya dengan Jenaka. Secara tiba-tiba, untuk pertama kalinya Lembayung menjemput istrinya.

Sejak sore tadi Jenaka sudah memberitahu Dimar bahwa ia akan dijemput lima belas menit lagi—tapi kenyataannya, Lembayung tidak muncul juga sampai pukul sembilan malam. Iya, janji Lembayung cuma lima belas menit. Namun lelaki itu baru muncul saat malam hari, setelah Jenaka kekenyangan sehabis makan malam, lalu ketiduran di sofa. Kurang sabar apa Jenaka kepada Lembayung?

Diminta menunggu, Jenaka mengiyakan. Biarpun bibir Jenaka mengatakan tidak, Jenaka segera siap-siap menunggu jemputan Lembayung. Walau pada akhirnya Jenaka tetap menunggu sampai berjam-jam. Dan Lembayung tidak berusaha mengabari Jenaka kenapa lelaki itu datangnya telat.

Dimar malas menyapa Lembayung. Ia membuka pintu sedikit lebih lebar supaya Lembayung bisa masuk ke dalam. Dimar menutup pintu, berdiri di belakang punggung Lembayung sembari menyilangkan kedua tangan di dada.

Ayo, Kita Cerai! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang