Ancaman Jenaka

11.4K 902 37
                                    

Dengan bantuan Lembayung, Dimar dibebaskan karena kurangnya bukti. Jika hanya karena pola pembunuhannya sama persis seperti yang ditulis dari salah satu adegan novel Dimar, tentu belum bisa dipastikan bahwa pelakunya adalah Dimar.

Walau Dimar telah dibebaskan, Lembayung bilang bisa saja Dimar akan tetap diawasi oleh polisi. Mengingat Dimar menjadi salah satu orang yang dicurigai membunuh Nasti. Jenaka menjadi geram. Daripada mengawasi Dimar, kenapa mereka tidak berusaha mencaritahu siapa saja yang patut dicurigai? 

Pertama, Dimar berada di rumah saat kejadian pembunuhan. Bahkan alibi Dimar diperkuat oleh rekaman CCTV di rumahnya. Dimar tidak keluar ke mana-mana setelah menyelesaikan novel terbarunya, kemudian ketiduran di ruang kerja. Dimar keluar rumah ketika ia mendapat kabar dari Jenaka—bahwa Nasti dilarikan di rumah sakit. Dan itu hampir subuh. Dimar datang sekitar jam empat lewat lima belas menit. Dari sini saja sudah terlihat jelas Dimar bukan pembunuhnya! Apa ada alasan selain ini? Sangat konyol!

"Kamu lagi ngapain?" tegur Lembayung, masuk ke kamar tiba-tiba.

Jenaka membalikkan badannya. Tadinya ia tengkurap sembari membaca novel milik Dimar—yang katanya, adegannya mirip dengan pola pembunuhan Nasti.

Baru kali ini Jenaka mau membaca novel Dimar. Sebelumnya Jenaka tidak pernah mau—bukan karena novel Dimar tidak bagus. Tapi Jenaka tidak menyukai genre yang dipilih Dimar.

Jangan pernah berharap ada kisah cinta manis di antara dua tokoh utamanya. Karena sepanjang bab yang akan dibaca hanya tentang pembunuhan, teka-teki yang kelewat mumet untuk tipikal orang seperti Jenaka. Ia lebih menyukai cerita sederhana, yang tidak perlu menggunakan otaknya terlalu banyak hanya untuk memikirkan kenapa si A dibunuh, si B dijadikan tumbal, si C... akh, Jenaka tidak tahan. Lebih baik ia menonton, atau berselancar ke sosial media sampai lupa waktu.

Lembayung membalikkan cover bagian untuk dibaca judulnya. Lembayung mengangguk kecil, ia pun bergumam, "Tumben kamu baca cerita agak berat," gumamnya. "Biasanya kamu lebih suka nonton acara gosip." Satu jari Lembayung menunjuk ke layar TV yang mati.

"Aku mau lihat yang katanya pola pembunuhannya mirip," jawab Jenaka. "Apanya? Aku udah baca. Di novelnya Dimar, si tokoh dibunuh di rumahnya. Cuma letaknya sama-sama di dapur aja! Mirip dari mana?" gerutu Jenaka sembari menunjuk-nunjuk halaman.

Lembayung mengalihkan pandangan, sambil berpikir, ia pun menjawab, "Tapi dari alat pembunuhan, dan cara membunuhnya hampir sama. Kenapa letaknya berbeda, karena kamu nyuruh Nasti pergi ke apartemen kamu." Seperdetik, air muka Jenaka berubah. Lembayung peka, ia buru-buru mengoreksi perkataannya. "Aku bukan bermaksud nyalahin kamu. Apa yang terjadi sama Nasti, udah jadi takdirnya. Di sini aku jelasin kenapa di novel sama kejadian Nasti, tempatnya berbeda."

Sampai kapan pun, Jenaka tidak mungkin bisa melupakan rasa bersalahnya kepada Nasti. Walau Lembayung, dan orang-orang di sekitarnya meyakinkan Jenaka bahwa itu bukan salahnya, Jenaka tetap tidak bisa mengurangi rasa itu. Sepanjang hidupnya, mungkin Jenaka akan membawa rasa bersalahnya hingga mati.

"Jen."

"Iya." Jenaka menjawab tanpa menatap Lembayung.

"Mungkin kemarin aku bisa bantu Dimar bebas. Tapi kalau suatu hari ditemukan bukti lebih kuat, kamu harus siap." Lembayung agak ragu mengatakannya. Tapi ia perlu mengatakannya.

Dalam sebuah kasus pembunuhan, terkadang pelaku seseorang terdekat dari korban, yang terkadang tidak pernah terpikirkan. Ada banyak sekali berita tentang seorang Ayah yang membunuh anaknya. Ibunya membunuh suaminya, atau bahkan sebaliknya. Atau bisa jadi pelakunya masih berhubungan saudara. Lembayung pikir, Jenaka harus siap mulai dari sekarang.

Bugh!

Jenaka bangun, memukul punggung Lembayung menggunakan buku Dimar—sampai dua kali. Suaranya pukulannya lumayan keras. Lembayung meringis, memegangi punggungnya sendiri.

Ayo, Kita Cerai! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang