21. BETRAY

696 129 23
                                    

🌼🌼🌼🌼🌼

Segalanya sama persis dengan apa yang dilihat Shiying di dalam mimpi. Dinding istana terbakar, mayat prajurit bergelimpangan di mana-mana. Desa terdekat mengalami dampak yang buruk. Rakyat di sekitar istana telah meninggalkan desa mereka dan mengungsi ke tempat lain. Meskipun para prajurit musuh tidak menyerang rakyat biasa, namun mereka merasa sangat ngeri dengan kejadian itu.

Tidak berbeda dengan Paman Qing yang kini telah sampai di sebuah tempat yang aman bersama para pelayan dan beberapa warga desa di sekitar kediaman Shiying. Paman Qing membawa mereka melewati sebuah bukit. Mereka berkemah di sana karena salju mulai turun deras. Tidak perlu khawatir karena mereka membawa perbekalan yang cukup dan pakaian hangat. Rencananya, Paman Qing akan mengungsikan mereka ke lembah dewa. Letaknya di perbatasan Wei Utara dan cukup dekat dengan istana lama Kerajaan Hou.

Hari itu, Xie Yun menginjakkan kaki di kediaman sang guru setelah dua musim berlalu. Ditemani oleh Jenderal Tang Hao dan ratusan prajurit Wei Utara, Xie Yun menggeledah seisi rumah sang guru, mendapati tidak ada siapa pun di sana. Tempat itu telah ditinggalkan.

Xie Yun melangkah mendekati sebuah ayunan di halaman. Ayunan kayu yang tertutup salju. Disentuhnya tali ayunan itu, membayangkan Shiying tengah duduk di sana dengan pakaian serba putih. Terlihat sangat indah, sang guru tersenyum lembut kemudian membelai rambutnya.

"Putra Mahkota." Suara Jenderal Tang Hao membuyarkan lamunan Xie Yun.

Xie Yun menoleh ke arah pria itu dengan tatapan dingin. Dua musim telah berganti dan kini Xie Yun berubah menjadi sosok yang berbeda. Sangat mudah marah dan bersikap dingin. Pemuda itu menjadi seseorang yang kejam dan tidak segan-segan menghabisi siapa pun yang menghalangi rencananya.

"Putra Mahkota, tempat ini sudah kosong. Sebaiknya kita kembali ke istana."

Xie Yun tidak mengucapkan apa pun. Lelaki itu langsung berjalan menghampiri kudanya, kemudian meninggalkan kediaman sang guru. Diikuti oleh Tang Hao dan ratusan prajurit Wei, Xie Yun kini pulang ke rumah lamanya. Istana Wei Utara.

.
.
.

Shiying perlahan membuka mata, menatap langit-langit, menyadari dirinya berada di sebuah tempat yang sangat asing.

"Ugh ...." Shiying merasakan tubuhnya sedikit lemas, perlahan bangun dari lantai gua.

"Baili?" Shiying melihat Baili di sampingnya, memejamkan mata seraya bersandar pada dinding gua. "Baili?"

Merasa ada yang tidak beres, Shiying menepuk bahu pemuda itu berkali-kali. "Baili, Baili, bangun!"

"Ugh ... Gu-Guru ... dingin ...." Wajah Baili tampak sangat pucat, padahal pria itu hanya terluka sedikit di bagian lengan. Saat itu, Shiying baru sadar bahwa Baili terkena racun.

"Baili! Baili!"

Shiying langsung merobek kain yang membungkus lengan pemuda itu, kemudian mencoba menghisap racunnya. Menghisap luka di lengan pemuda itu, kemudian meludahkannya. Shiying telah melakukan hal itu sebanyak tiga kali, namun terlambat. Racunnya sudah menyebar ke seluruh tubuh Baili.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Shiying merasa sangat takut. Takut kehilangan seseorang yang paling berarti baginya. Setetes air mata mulai mengalir, mendekap erat tubuh dingin pemuda itu dengan putus asa.
"Hiks ... Baili ...."

"Guru ... peluk aku ... dingin ...." lirih Baili hampir kehilangan kesadaran.

Shiying bergegas membuka pakaian, kemudian memeluk Baili dan menyalurkan panas tubuhnya. Jubah putih lelaki itu juga dipakai untuk membungkus tubuh Baili serta tubuhnya sendiri.

Shiying memeluk tubuh Baili semakin erat, kemudian terbesit sebuah cara untuk menyelamatkan pemuda itu.

"Baili, Baili, kau akan baik-baik saja," ucapnya dengan napas terengah dan air mata yang membanjiri pipi.

Shiying menangkup pipi Baili, kemudian menempelkan bibirnya pada bibir pemuda itu. Sebuah mutiara yang bercahaya keluar dari mulut sang guru, disalurkan kepada Baili lewat ciuman lembut.

Mutiara misterius itu membuat tubuh Baili perlahan terasa membaik. Baili perlahan membuka mata, melihat sang guru tepat di depan wajahnya, tubuh telanjang sang guru menempel pada tubuhnya.

"Guru, apa yang kau berikan padaku?" tanya Baili dengan suara lemah.

Shiying membelai lembut pipi Baili. "Kau akan baik-baik saja."

"Guru ...." Baili membalas pelukan Shiying, menenggelamkan wajahnya di bahu ramping sang guru.

Cahaya dari mulut gua perlahan meredup, kemudian digantikan dengan kegelapan yang sangat pekat. Kondisi di dalam gua memang jauh lebih gelap dibandingkan di luar sana, namun tempat itu terasa lebih hangat bagi keduanya.

Pandangan Baili mulai buram. Yang dia ingat hanyalah merebahkan tubuh sang guru dan memeluk lelaki itu dengan erat. Terasa sangat panas. Baili merasakan keringatnya bercucuran di tengah hawa dingin yang menerpa.

"Aah ... aah ... Baili, jangan ...."

"Hah ... hah ... Guru ...."

.
.
.

TBC

🍁ETHEREAL🍁Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang