Bab 1 - Pertemuan Pertama

991 109 3
                                    

Pertemuan Pertama


Revan yang masih berumur tiga belas tahun menatap tepat ke mata bayi yang baru lahir beberapa menit lalu itu. Detik itu juga, Revan langsung tahu, gadis inilah yang akan memegang masa depannya. Sang Tuan Putri yang bahkan orang tuanya mampu memindahkan staf satu rumah sakit hanya untuk menyambut kelahirannya di rumah.

Lalu, Revan mendengar suara wanita yang melahirkan bayi itu berbicara padanya,

"Revan, anak Tante cantik, kan? Tolong kamu jaga dia dan lindungi dia, ya? Tante percayain dia sama kamu."

Revan menatap wajah bayi itu. Matanya mengerdip sekali pada Revan. Lalu, tiba-tiba bibirnya tersenyum.

"Oh my God, it's her first smile ever, right?" heboh Reva, saudari kembar Revan yang juga ada di sana.

"Reva, jangan berisik. Lo bisa bikin dia kaget," tegur Revan.

"Hmph! Such a protective. Gue nggak bisa ngebayangin gimana hidup bayi ini nanti kalau punya tunangan se-over protective elo," cibir Reva.

Namun, wanita yang melahirkan bayi itu tertawa dan menepuk puncak kepala Revan.

"Itu berarti, Revan akan selalu ngelindungin Killa, kan?" sebut wanita itu.

"Namanya ... Killa?" tanya Revan.

Wanita itu mengangguk dan tersenyum. "Arkilla. Tapi, Revan bebas mau manggil dia apa."

Revan menatap bayi mungil itu dan menggumam pelan, "Arkilla ..."

***

Delapan belas tahun kemudian ...

Revan memperhatikan mata hitam jernih itu berbinar menyusuri buku menu di meja. Lalu tiba-tiba, gadis pemilik mata hitam jernih itu mendongak menatap Revan.

"Kak Revan, kita coba menu ini, yuk? Ini menu baru restoran ini dan ini katanya menu yang lagi populer di medsos," urai Killa sembari menunjuk buku menu restoran.

"Aku akan pesan apa yang pengen aku makan, jadi kamu pesan aja apa yang pengen kamu makan," balas Revan.

"Tapi, ini menu yang populer dan katanya enak banget," Killa masih berusaha meyakinkan Revan. "Katanya, kalau kita nyoba ini, kita nggak bakal nyesal."

"Aku nggak peduli," tukas Revan dingin.

"Oh ... oke ..." Suara gadis itu terdengar lebih pelan, tapi dia masih bisa tersenyum. Dan dia selalu seperti itu. Tak peduli bagaimanapun Revan bersikap kasar padanya, dia selalu memberikan senyumnya pada Revan.

Revan menghela napas, akhirnya mengalah. Ia mengangkat satu tangan untuk memanggil pelayan dan salah seorang pelayan mendekat. Revan menunjuk menu yang disebutkan Killa tadi.

"Untuk dua orang," Revan menyebutkan.

Killan menatap Revan kaget. "Kak Revan ..."

"Aku nurutin kamu biar kamu nggak berisik lagi," ketus Revan.

Killa tersenyum dan mengangguk. "Kak Revan pasti nggak bakal nyesal. Semua yang udah nyoba menu ini aja langsung suka."

Seolah Revan peduli. Dia memilih menu itu bukan karena orang lain. Begitulah Revan hidup selama ini. Ia tidak pernah memilih sesuatu karena orang lain, tapi karena itu adalah keputusannya sendiri. Termasuk, perjodohannya dengan gadis super berisik yang berumur tiga belas tahun lebih muda darinya ini.

***

"Aku udah dapat laporan tentang daftar kampus tujuanmu. Jadi, kamu udah mutusin mau kuliah di mana?" tanya Revan ketika mereka menunggu pesanan mereka disajikan. "Kalau kamu mau kuliah di luar negeri, aku akan ngirim beberapa asisten sama sekretaris buat kamu. Jadi ..."

"Aku nggak mau kuliah di luar negeri," Killa menyela.

"Kenapa?" tanya Revan.

"Di sini juga banyak kampus bagus," Killa berkata.

"Aku tahu. Jadi, kampus tujuanmu yang mana?" tanya Revan. "Nanti aku cek sendiri di list."

"Um ... ini kampus yang nggak ada di list," sebut Killa. "Nanti aku kirim informasinya ke Kak Revan."

Ya. Bukan orang tua Killa yang mengecek dan mengurus semua hal seperti itu untuk Killa, melainkan Revan. Bisa dibilang, masa depan Killa ada di tangan pria itu. Dia berhak mengatur semua hal tentang hidup Killa. Orang tua Killa sudah menyerahkan segala hal mengenai Killa pada pria itu. Segalanya.

Meski begitu, sedikit pun Killa tak merasa keberatan. Karena bagi Killa sendiri, impiannya adalah menjadi istri Revan. Namun, pria yang menjadi impiannya itu tampak menatap Killa tak suka dan berkata tajam,

"Kalau kamu milih kampus itu cuma karena mau ikut-ikutan teman-temanmu, aku nggak akan ngizinin."

Killa mengernyit. Revan mungkin selalu berpikir seperti itu tentang Killa. Tidak punya pendirian, tidak bisa mengambil keputusan, dan tidak tahu mana yang terbaik untuknya.

Bahkan meski pria itu berpikir begitu, Killa juga tak keberatan. Karena tujuan hidupnya adalah Revan, jadi dia ingin menjadi orang yang diinginkan Revan. Tak peduli ke mana Revan membawa hidup Killa, selama akhirnya Killa akan berakhir di samping pria itu, dia tidak keberatan.

"Ini bukan karena teman-temanku, kok, Kak," balas Killa. "Aku dengar, itu kampus swasta yang bagus. Katanya, itu kampus elit. Kualitasnya juga udah terbukti. Aku dengar, mereka juga kerjasama sama salah satu kampus yang mau aku tuju di luar negeri."

Revan menatap Killa. "Aku akan mutusin setelah aku ngecek sendiri kampus itu," putus Revan.

Killa hanya mengangguk. Namun, dia berharap Revan tidak akan tahu apa alasan sebenarnya Killa memilih kampus itu. Karena tujuan Killa memilih kampus itu sebenarnya adalah karena berita yang sempat ia baca dari medsos.

Kisah cinta dosen dan mahasiswinya. Di kampus lain, cerita itu mungkin sudah menjadi skandal. Namun, kisah cinta mereka itu justru berakhir menjadi happy ending yang romantis.

Sementara, Killa sendiri tumbuh tanpa tahu apa pun tentang cinta. Setiap kali Killa bertanya pada mamanya, mamanya selalu menjawab dengan jawaban yang sama,

"Nanti kalau sudah waktunya, kamu pasti akan tahu. Selama kamu ada di samping Revan."

Namun, hingga saat ini, Killa masih juga tak tahu apa maksud kata-kata mamamnya itu. Ia juga tidak mungkin bertanya pada Revan. Sementara teman-temannya ... sama saja. Killa tidak punya teman yang cukup dekat. Selain itu juga, bahkan meski dia dekat dengan murid lain pun, ia tidak yakin mereka bisa menjawab rasa ingin tahu Killa tentang cinta.

Di sekolah Killa, sepertinya tidak ada satu pun yang peduli dengan hal seperti itu. Teman-temannya sibuk mencetak prestasi di berbagai bidang, bersaing di sana-sini. Ditambah lagi, sebagian besar teman-temannya juga sudah punya tunangan, seperti Killa. Mereka tidak punya waktu untuk hal-hal seperti cinta.

Bagi mereka, konsep cinta antar pasangan mungkin adalah hal yang asing juga. Karena sama seperti Killa, mereka adalah orang-orang yang pasangannya sudah ditentukan bahkan sejak mereka lahir.

Cinta ... benar-benar adalah hal yang asing bagi Killa. Namun, satu hal yang pasti. Bahkan meski Killa tak tahu banyak tentang cinta, tapi ia tahu, Revan adalah cinta pertamanya. Karena pria itu adalah orang pertama yang membuatnya tersenyum.

***

I Love U and U Know It (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang