Bab 4 - Menghadapi Bocah SMA

527 85 1
                                    

Menghadapi Bocah SMA


Karena ini adalah akhir pekan, biasanya setelah makan siang, Revan tak perlu mengantar Killa ke sekolahnya. Jika tak ada rapat atau pekerjaan, Revan bahkan akan menghabiskan waktu sampai jam makan malam untuk menemani Killa berbelanja. Jika ada pesta yang harus mereka hadiri bersama, mereka akan menghabiskan waktu hingga sebelum waktu pesta untuk bersiap-siap.

Namun, karena malam ini tidak ada jadwal pesta, mereka akan pergi berbelanja. Jika itu untuk pakaian, Killa sudah punya butik langganan. Meski dia terkadang suka membeli aksesoris dan barang seperti tas dan sepatu di tempat lain. Terutama yang dia gunakan untuk sekolah. Dia juga lebih suka berbelanja sendiri daripada mengirim asisten, karena itulah Revan selalu menemaninya berbelanja.

Killa juga biasanya menghabiskan lebih dari dua jam di toko buku. Setiap kali Killa pergi ke toko buku, Revan bisa menggunakan kesempatan itu untuk membereskan beberapa pekerjaan yang dia bawa pulang. Dia juga suka membeli bolpoin warna-warni. Anak itu suka mencoret-coret buku yang dia baca atau pelajari untuk menandai sesuatu.

Sebelum itu, kenapa sudah lewat sepuluh menit sejak Revan tiba di restoran ini, Killa belum datang juga? Gadis itu yang meminta untuk bertemu langsung di restoran karena dia sedang di salon dan tak ingin Revan menungguinya terlalu lama di salon.

Well, sejujurnya, Revan juga paling tidak suka harus menunggu di salon. Jika itu untuk fitting pakaian atau semacamnya, Revan mungkin akan mengerti. Namun, ia tak tahu kenapa para wanita harus menghabiskan waktu berjam-jam, bahkan seharian, hanya untuk menata rambut di salon.

Revan mengecek jam tangannya, lalu mengecek ponsel. Masih tidak ada pesan dari Killa. Revan meraih gelas yang berisi air putih dan meneguknya. Saat itulah, seseorang melewatinya, lalu berhenti di samping mejanya. Revan menoleh dan mengangkat wajah untuk menatap siapa yang berhenti di sana.

Namun, detik ketika Revan menangkap wajah berhias make up full dari gadis yang berdiri di samping mejanya itu, Revan nyaris menyemburkan air di mulutnya. Untungnya, ia berhasil menahan diri meski hasilnya, dia malah tersedak dan terbatuk-batuk.

"Kak Revan nggak pa-pa?" tanya Killa.

Revan mengangguk sambil berdehem untuk membersihkan tenggorokannya. Ia kembali memperhatikan penampilan Killa. Rambut lurus gadis itu, tampak bergelombang dan tersampir di satu bahunya. Sementara, pakaian yang dipakai gadis itu ...

Apa yang terjadi pada Killa? Biasanya jika tidak memakai seragam sekolah, setiap kali mereka bertemu, gadis itu memakai one piece dress selutut khas anak remaja, terkadang dengan motif polkadot, garis, kotak-kotak, bahkan dengan gambar boneka.

Namun, one piece dress yang dikenakan Killa kali ini begitu ketat membungkus tubuhnya. Dengan blazer tersampir di bahunya. Dan Revan dibuat lebih terkejut lagi hingga tersedak ludahnya sendiri ketika Killa melepaskan blazer-nya sebelum duduk di depan Revan, menampakkan bahunya yang terpampang jelas.

Bahkan untuk semua gaun pesta gadis itu saja, Revan memastikan gadis itu tidak pernah memakai gaun yang begitu terbuka. Sejauh ini, yang paling parah adalah gaun tanpa lengan. Revan bahkan tak pernah membiarkan gadis itu memakai gaun dengan belahan kaki yang lebih tinggi dari betisnya. Lalu, apa ini?

Gaun berwarna hitam mencolok yang begitu ketat membungkus tubuhnya, menampakkan bahunya dengan bebas, dan panjangnya pun mungkin di atas lutut jika sekilas Revan melihat tadi. Apa yang dipikirkan gadis ini? Ditambah lagi, dengan make up dan tatanan rambut yang tak biasa itu.

Apa Killa sedang melewati masa pubertas?

Sekarang, apa yang harus Revan lakukan menghadapi bocah SMA di depannya ini?

***

Terpesona! Killa tahu Revan langsung terpesona padanya begitu melihat penampilan barunya tadi.

Bahkan Lucy, pemilik butik langganannya, memuji bahwa Killa tampak seksi dan lebih dewasa dengan penampilan barunya. Tidak mungkin Revan tidak terpesona padanya. Pria itu sampai tersedak seperti tadi.

Pria itu pasti luar biasa terkejut karena pesona Killa. Selama ini, dia hanya melihat Killa sebagai anak SMA. Namun, saat ini dia mau tak mau harus mengakui Killa sebagai wanita dewasa.

Jangankan Revan, bahkan Killa pun terkejut akan upgrade penampilannya ini. Ditambah lagi, Killa merasa percaya diri dengan tubuhnya yang sekarang berisi dan seksi. Beginikah rasanya menjadi wanita dewasa?

"Killa," panggil Revan kemudian.

Killa mengibaskan rambut ke belakang dan menatap Revan. "Ya, Kak?" balasnya.

"Kamu ... ada acara yang harus dihadiri habis ini?" tanya pria itu.

Killa menggeleng.

"Trus, kamu ada kegiatan sosial atau semacamnya yang aku nggak tahu?" tanya pria itu lagi.

Killa kembali menggeleng.

"Trus, kenapa kamu pakai baju kayak gitu?" Akhirnya pria itu menanyakannya juga.

"Emangnya kenapa?" balas Killa sembari menegakkan tubuh. "Aku udah dewasa sekarang."

"Apa?" Revan mengerutkan kening.

"Aku ... mulai sekarang, aku akan bersikap dewasa. Karena itu ..."

"Apa aku nyuruh kamu kayak gitu?" Suara Revan terdengar seperti geraman, mengejutkan Killa.

"Tapi, aku cuma pengen ..."

"Harus berapa kali aku bilang, jangan ngelakuin hal nggak berguna kayak gitu?" Suara Revan meninggi. "Kenapa kamu selalu ngelakuin hal-hal yang nggak aku suruh? Kenapa kamu ... ugh!"

Revan menangkup wajah dengan satu tangan dan menunduk. Melihat itu, hati Killa rasanya seolah jatuh ke kakinya. Lagi-lagi, dia mengecewakan Revan.

"Aku nggak pernah minta kamu ngelakuin apa pun, jadi jangan ngelakuin apa pun," geram Revan dengan suara rendah.

"Maaf, Kak," ucap Killa seraya menunduk. "Aku nggak akan ngelakuin hal kayak gini lagi."

Kedua tangan Killa yang bertumpu di pangkuan mencengkeram ujung gaunnya erat. Ia benar-benar merasa bodoh.

***

Revan benar-benar tak mengerti jalan pikiran Killa.

Apa ini karena gadis itu masih bocah SMA? Atau karena perbedaan usia mereka terlalu jauh? Tidak. Mungkinkah gadis itu mencoba protes pada Revan?

Bahkan meski Revan bertanya-tanya sendiri seperti ini, ia tidak akan mendapat jawabannya. Bertanya pada Killa pun pasti tak akan dijawab gadis itu dengan jujur. Revan juga tidak tahu harus bertanya pada siapa lagi.

Reva? Yang benar saja. Selama ini, dia selalu menyebut Revan pedofil hanya karena dia dijodohkan dengan gadis yang tiga belas tahun lebih muda darinya. Seolah Revan meminta itu. Bertanya pada Reva tentang hal yang menyangkut Killa hanya akan memberi bahan ledekan untuk dirinya sendiri.

Jika Revan bertanya pada Nugie ...

Tidak. Bagaimana bisa dia percaya pada pria yang lebih memilih mengejar mobilnya seperti orang gila alih-alih menghubungiya dengan ponsel ketika ingin menanyakan sesuatu padanya? Jelas, Nugie lebih sering bertindak lebih dulu sebelum berpikir. Dan Revan sama sekali tak membutuhkan logika macam itu.

***

I Love U and U Know It (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang