Bab 17 - Mine

554 76 2
                                    

Mine


Steven tak tahu apa yang ia lakukan di tempat ini. Namun, karena pria yang duduk di depannya itu sedari tadi mengikutinya dan membuatnya yang sudah kesal semakin kesal, akhirnya Steven menyerah dan menuruti apa yang dia inginkan dari Steven.

Pria itu, Revan, mengajak Steven ke coffee shop terdekat, memesan espresso yang bahkan sedari tadi tidak disentuhnya, dengan tatapan tajam dan lurus ke wajah Steven. Mungkin menuruti pria itu bukan keputusan yang benar karena sekarang Steven merasa semakin kesal.

"Kamu mau apa ngajak aku ke sini?" tuntut Steven. Jelas bukan untuk kencan, karena jika memang untuk itu, lebih baik Steven mengajak ...

Ah, sudahlah. Apa yang Steven pikirkan?

"Apa kamu tertarik sama dia?" tembak Revan tiba-tiba.

"Apa?" Steven menatap Revan dengan tatapan agak kaget. Bagaimana dia bisa tahu ...?

"Killa," sebut Revan.

Ah, anak itu? Steven pikir ...

"Nggak kayak yang kamu pikirin," Steven menjelaskan. "Aku tahu dia akan masuk jadi mahasiswa baru di kampusku dari Wiki. Aku sedikit penasaran karena Vienny tiba-tiba dekat sama anak itu."

"Karena itu, cuma karena penasaran, kamu datang buat nemuin dia di apartemen?" sengit Revan.

"Aku nggak ..."

"Apa Killa udah ngomong ke kamu?" sela Revan.

"Ngomong apa?" Steven tak tahu lagi ke mana arah pembicaraan ini. Toh, sejak awal, dia datang ke apartemen itu karena ditipu Vienny. Dia pikir, mereka sudah semakin dekat karena wanita itu menghubunginya lebih dulu dan meminta bantuannya. Namun ...

"Kalau dia suka sama kamu," ucap Revan.

Revan beruntung Steven tidak sedang menyeruput iced Americano yang dipesannya atau saat ini wajah pria itu pasti sudah bermasker iced Americano hasil semburan mulut Steven. Ya, Steven seterkejut itu mendengar klaim pria itu.

"Dia ... apa?" Steven bahkan tidak kenal dengan anak bernama Killa ini.

"Dia suka sama kamu," ulang Revan. "Karena itu, dia milih kampus itu."

Wait, what? Kenapa Steven tak pernah mendengar ini sebelumnya?

"Tapi, jangan besar kepala dulu," sengit Revan. "It's just temporary. Hal yang biasa terjadi sama anak remaja dalam masa pubertas. Nggak lebih dari itu. Dan," Revan menatap Steven tepat ke matanya, "orang yang akan nikah sama dia dan jadi suaminya, adalah aku. She's mine."

Vienny ... pada badai apa sebenarnya dia menyeret Steven?

"Kamu kayaknya salah paham ..."

"Nggak ada yang salah paham di sini selain kamu," tepis Revan. "Kalau kamu berpikir kamu punya harapan sama Killa, kamu salah."

Steven mengingat-ingat cerita Wiki tentang Revan yang merupakan adik kembar Reva. Dan Steven juga sempat mendengar sekilas cerita Reva dan Nugie, termasuk sikap menakjubkan Reva. DNA memang tidak bisa berbohong.

Lihat saja bagaimana Revan kemudian berdiri dan pergi begitu saja tanpa pamit, tanpa menyentuh espresso-nya. Dia mungkin bukan penikmat kopi, tapi dia berlagak cool di depan Steven. Oh, Boy ...

Steven menghela napas berat dan menyandarkan kepala di sandaran kursi, mendongak menatap langit-langit. Sekarang, apa yang akan dia minta dari Vienny sebagai bayaran untuk kekacauan ini?

Karena sungguh, kesabaran Steven ada batasnya.

***

Begitu Revan kembali ke mobil, cukup puas dan merasa menang setelah mengatakan semua yang ingin ia katakan pada Steven, Tim tiba-tiba memekik padanya,

"Pak Revan, tolong bilang kalau ini bohong!"

Revan menoleh pada Tim yang ada di kursi kemudi. "Apa maksudmu?"

Tim mengangkat i-Pad di tangannya, menunjukkan layarnya pada Revan, yang menunjukkan sebuah artikel yang memberitakan tentang perubahan jadwal pesta pernikahan Revan dan Killa yang seharusnya masih beberapa bulan lagi.

"Vienny ... dia kayaknya udah terbiasa berurusan sama media. Daripada bikin berita kejutan tepat di hari pesta yang mungkin bakal ngacauin pestanya, dia ngumumin itu sekarang," dengus Revan. "Dengan gini, dia juga bakal lebih mudah nyari pengganti kalau-kalau ada partner Organizer-nya yang mundur. Karena yang lain bakal maju ngajuin sendiri ke dia begitu tahu skala pestanya."

"Yang saya permasalahkan bukan itu, Pak." Tim terdengar geram.

Tidak, Revan yakin dia mendengar Tim menggeram.

"Apa kamu ... barusan kesal ke aku?" Revan memastikan.

Tim mengerjap. Dia menarik napas dalam, lalu menjelaskan, "Pak Revan, saya sudah mengatur banyak jadwal untuk Pak Revan selama beberapa bulan ke depan. Tapi, sekarang semua jadwalnya harus berubah karena jadwal pesta pernikahan Pak Revan yang dimajukan. Dan saya harus mengatur jadwal dengan para tamu undangan lagi."

Tim kembali menarik napas dalam, lalu berbicara dengan suara yang super duper resmi, "Saya mohon, sesekali Pak Revan mempertimbangkan posisi saya sebagai orang yang harus mewakili Pak Revan menyampaikan undangan penting seperti ini pada para orang penting yang jadwalnya sepadat Pak Revan. Karena seperti yang Pak Revan tahu, ini adalah pesta yang melibatkan dua grup perusahaan besar. Selain perusahaan Pak Revan, saya harus mengurus tamu undangan untuk AR Group juga, Pak Revan tidak lupa, kan, tentang itu?"

Di kalimat terakhir, suara Tim sedikit meninggi dan terdengar frustrasi. Namun, Revan tak bisa sepenuhnya menyalahkan Tim. Karena seperti yang dikatakan Tim, dia tidak hanya bertanggung jawab atas jadwal Revan, tapi juga jadwal Killa. Mengingat seluruh jadwal gadis itu ada di tangan Revan sepenuhnya.

Dan itu termasuk dengan tamu undangan AR Group. Revan masih ingat bagaimana dulu Tim sampai tidur dalam posisi berdiri setelah selama seminggu dia nyaris tidak tidur untuk menyiapkan pesta pertunangan Revan dan Killa.

Revan berdehem. "Selama beberapa bulan ke depan, aku akan mastiin kamu dapat bonus. Dan ... aku akan nyari waktu buat ngasih kamu libur begitu ini semua selesai. Kamu bisa diskusiin itu sama Rika."

Tim terdiam selama beberapa saat, lalu dia mengeluarkan ponselnya dan mengotak-atiknya sebentar, sebelum mengulurkannya pada Revan. Meski bingung, Revan sudah mengulurkan tangan hendak mengambil ponsel yang disodorkan Tim itu, tapi Tim menggeleng.

"Tolong ulangi kata-kata Pak Revan tadi. Saya sudah menyalakan perekamnya," Tim berkata.

Revan mendengus tak percaya. "Apa kamu pikir aku bakal bohong?"

"Tahun lalu, Pak Revan menjanjikan saya liburan, tapi saya nggak ingat kalau saya bahkan bisa libur di tahun baru," balas Tim.

Oh, Revan bahkan sudah lupa jika dia pernah menjanjikan hal seperti itu. Namun, sebaiknya dia tidak mengatakan itu pada Tim, kan?

"Kamu nggak seharusnya meragukan bosmu sendiri kayak gini, Tim," ucap Revan menegur.

"Pak Revan mungkin nggak ingat, tapi dua tahun lalu, di hari di mana saya mau berangkat liburan, saya sudah di bandara dan Pak Revan tiba-tiba nelepon saya karena ada rapat darurat," beber Tim.

"Jadi, kamu pengen ngerekam bagian mana tadi?" tanya Revan.

Sepertinya, memecat Tim adalah hal yang paling mustahil dalam hidup Revan. Namun, membiarkan Killa terlepas dari tangannya adalah hal yang jauh lebih mustahil lagi, jadi Revan akan melakukan apa pun untuk memastikan Killa tidak jatuh ke pelukan Steven. Apa pun.

Bahkan meski dia harus menipu Tim dan dituntut sekalipun.

***

I Love U and U Know It (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang