Bab 6 - Love Hurt Like This

559 87 1
                                    

Love Hurt Like This


Killa memejamkan mata dan air matanya kembali mengalir ketika teringat bagaimana Revan menangkup wajah dan menunduk kecewa karenanya. Killa sudah tak ingat berapa kali dia menangis setiap kali teringat itu. Dan setiap kali kata-kata Revan kembali terngiang di telinganya ...

"Harus berapa kali aku bilang, jangan ngelakuin hal nggak berguna kayak gitu? Kenapa kamu selalu ngelakuin hal-hal yang nggak aku suruh? Kenapa kamu ... ugh!"

Setiap kali kata-kata itu terngiang di telinganya, dadanya terasa sakit seolah ada yang menusuknya dengan ribuan jarum. Bahkan, rasa sakitnya menyebar ke seluruh tubuhnya, hingga ke ujung jarinya.

Killa tak pernah benar-benar mengerti apa itu cinta, tapi ia tahu, ia jatuh cinta pada Revan. Dan kali ini, Killa tahu, hatinya patah karena Revan. Cinta ... apakah selalu sesakit ini?

Ah, Killa ingin segera lulus sekolah dan kuliah di kampus itu, lalu bertemu orang-orang yang ingin ia temui. Ia harus belajar lebih banyak dari mereka tentang cinta. Hanya dengan begitu, dia bisa membuat Revan jatuh cinta padanya.

Hingga hari itu tiba, Killa harus bertahan dan berusaha agar tidak mengecewakan Revan lagi. Bagaimanapun caranya.

***

"Um ... Pak Revan, ini sudah jam satu pagi ..."

Revan memijat pangkal hidungnya dengan satu tangan, sementara tangannya yang lain memegang berkas yang sedang ia periksa, lalu menyela Tim, "Karena itu, aku udah nyuruh kamu pulang dari tadi, kan? Rika juga udah pulang."

"Justru karena Rika sudah pulang, saya harus stand by kalau-kalau Pak Revan butuh sesuatu ..."

"Aku udah nyelesaiin kerjaanku, jadi kamu nggak perlu lagi ada di sini," sengit Revan.

"Tapi ..." Tim terdengar ragu.

"Kamu bisa pergi," tegas Revan.

Tim menghela napas. "Saya juga tadinya mau pergi aja, Pak. Tapi, tadi juga saya baru aja keluar dari ruangan Pak Revan, Pak Revan langsung telepon saya buat tanya tentang anak-anak yang ada di daftar di tangan Pak Revan itu."

Tim memang tidak meninggikan suara atau terdengar kesal, tapi entah kenapa ... menyebalkan juga mendengar kata-kata itu dari Tim. Bahkan meski Tim diam-diam meledeknya, Revan tak bisa marah untuk itu karena asistennya itu tak tampak meniatkannya jika memang dia meledek Revan. Itu sudah menjadi kebiasaannya saking seringnya dia melakukan itu.

Revan menatap berkas di tangannya yang berisi data semua murid laki-laki di sekolah Killa, mulai dari angkatan tahun pertama SMP, hingga angkatan tahun terakhir SMA. Di sana tertulis nama berikut informasi pribadi mereka. Namun, tak ada satu pun dari mereka yang dekat dengan Killa.

"Dan lagi, saya nggak tahu banyak tentang mereka selain informasi yang ada di tangan Pak Revan," Tim melanjutkan. "Orang yang seharusnya Pak Revan tanya tentang mereka itu bukan saya, tapi Nona Killa. Kalau itu Nona Killa, pasti dia tahu seenggaknya satu-dua hal tentang anak-anak itu."

Revan menatap Tim tajam sebagai balasan.

Tim berdehem. "Maaf, Pak. Silakan dilanjutkan memerikas berkasnya, saya akan menunggu Pak Revan di sini sampai selesai," ucap Tim.

Revan menghela napas dan membanting berkas di tangannya ke meja. "Siapin mobilku. Aku pulang sekarang."

Tim langsung sigap membalas, "Baik, Pak."

Revan menatap berkas di mejanya. Siapa laki-laki yang menarik perhatian Killa? Selama ini, Revan tahu satu-satunya pria yang menjadi pusat perhatian Killa hanya dirinya. Namun, Revan tidak pernah sekali pun mengomentari penampilan Killa, jadi ia bisa yakin alasan Killa mengubah penampilan bukanlah dirinya.

Sejak kapan? Sejak kapan gadis itu mulai tertarik pada pria lain? Killa selalu berkata jika Revan keren dan menikah dengan Revan adalah impiannya. Apakah itu hanya kata-kata yang asal diucapkannya karena dia masih anak-anak dan belum tahu apa-apa?

Dan sekarang, setelah dia bertambah dewasa, dia berubah pikiran? Mungkin ini karena dia sedang dalam masa pubertas, tapi ...

Ugh! Revan tak suka membuang waktunya untuk memikirkan hal-hal bodoh seperti ini. Ini karena Killa mulai bertingkah aneh. Sungguh, memiliki jodoh anak SMA sama sekali tidak mudah.

***

Setelah berpikir-pikir lagi, Killa akhirnya memutuskan untuk pergi ke butik langganannya untuk meminta maaf pada Lucy. Untungnya ketika dia kemari tengah malam itu, hanya ada Lucy di butik. Killa percaya, Lucy tidak akan menyebarkan rumor tentang dirinya dan Revan, karena itulah dia harus datang menemui Lucy dan meminta maaf dengan benar karena sudah sangat merepotkan Lucy.

Sebenarnya, jika malam itu Killa menggunakan otaknya sedikit saja, atau jika dia mau berusaha sedikit saja, dia bisa mencari cara untuk menghapus make up dari internet dan melakukannya sendiri. Namun, Killa pernah dengar jika dua orang terbodoh di dunia ini adalah orang yang sedang jatuh cinta dan orang yang sedang patah hati.

Ia sudah membuat janji untuk datang ke sini saat jam makan siang karena Revan ada meeting, jadi mereka tidak bisa makan siang bersama. Namun, ketika Killa datang ke butik Lucy, ia sempat ragu di pelataran parkir.

"Nona, kita sudah sampai," beritahu sopirnya karena Killa tak juga turun dari mobilnya meski mereka sudah tiba di sana selama lebih dari lima menit.

Killa berdehem, lalu mengangguk. Sopirnya keluar dan membukakan pintu untuknya. Killa turun dari mobil dan melangkah ke pintu depan butik. Killa menarik napas dalam sebelum masuk ke butik itu.

Dia langsung disambut staf butik dan diantarkan ke ruang tunggu VIP. Killa berusaha untuk duduk dengan tenang, tapi sejujurnya ia nervous. Ia tak yakin apakah keputusannya ini benar. Jika ia membuat kesalahan sedikit saja, dia bisa membuat Revan marah dan semakin membencinya.

"Nona Killa," sapa Lucy ketika dia akhirnya masuk ke ruang tunggu tempat Killa berada.

Killa tersenyum kecil.

"Apa Nona mau memilih dan fitting gaun baru atau ..."

"Bukan itu," sela Killa cepat.

Lucy mengerutkan kening heran. "Kalau gitu ..."

"Maf," ucap Killa cepat, saking cepatnya, lidahnya sampai terpeleset.

"Maaf, apa yang Nona katakan?" Lucy tampak bingung.

Killa berdehem, lalu menarik napas dalam. "Maaf," ulangnya dengan lebih tenang.

Namun, Lucy justru tampak semakin bingung.

"Aku nggak seharusnya datang ke sini tengah malam dan ngerepotin kamu," Killa menjelaskan. "Aku ... um ..."

"Saya mengerti, Nona," Lucy menyahut sembari tersenyum.

Terlepas dari dandanan Lucy yang tampak selalu menor, tapi wanita itu selalu menunjukkan sikap yang hangat dan bersahabat. Mungkin itu hanya bagian dari pekerjaannya, tapi entah kenapa, Killa merasa jika ... dia bisa memercayai wanita itu.

"Aku nggak punya banyak orang yang bisa aku percaya, tapi aku bisa bilang kamu ada di antara sedikit orang itu," sebut Killa.

Lucy tampak terkejut, tapi ia kemudian tersenyum. "Terima kasih atas kepercayaan Nona."

Killa lantas bangkit dari duduknya.

"Apa Nona mau mencoba beberapa gaun baru ...?"

Killa menggeleng. "Aku cuma datang ke sini buat ketemu kamu," Killa mengaku. "Tapi ... um ... kamu bisa milihin beberapa gaun yang menurutmu cocok buat aku dan kirim aja ke rumah. Karena aku udah nyita waktumu, jadi aku seenggaknya harus beli beberapa baju di sini, kan?" Killa tersenyum kecil.

Lucy sudah membuka mulut, tampaknya hendak membalas, tapi tiba-tiba seseorang memasuki ruang VIP itu dan menghambur ke arah Lucy.

"Lu, play wimme (with me)! I'm bowed heye (bored here)!" Seruan itu datang dari seorang anak laki-laki yang sepertinya masih berumur sekitar dua tahun.

Huh? Anak siapa ini?

***

I Love U and U Know It (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang