Bab 13 - Cemburu

564 71 0
                                    

Cemburu


Killa refleks mengernyit ketika mencium aroma tajam parfum tepat ketika pintu ruangan Revan terbuka. Seorang wanita yang lebih tinggi dari Killa, memakai stelan kerja warna hijau zamrud. Baik Killa maupun wanita itu berhenti di depan pintu dan saling menatap berhadapan.

Killa mengenal wanita itu. Dia pernah dirumorkan dekat dengan Revan karena beberapa kali dia tampak berbicara dengan Revan di acara amal maupun pesta yang mereka hadiri. Dan sejujurnya, Killa tak suka wanita itu. Killa tak suka cara wanita itu menatap Revan setiap kali mereka bertemu.

"Nona Killa, Pak Revan ingin Nona Killa masuk ke ruangannya dalam lima menit," beritahu Tim yang barusan menutup pintu ruangan Revan. "Tapi, saya rasa Nona Killa bisa masuk sekarang."

Killa menoleh pada Tim dan mengangguk. Ia berjalan melewati wanita itu, tapi dia berhenti tepat di sebelah wanita itu ketika dia memanggilnya pelan,

"Arkilla Narasya." Wanita itu membungkuk sedikit ke arahnya dan berbicara di telinganya, "Kalau bukan karena kamu, aku yang akan ada di samping Revan. Kamu juga pastinya sadar, kan, kalau aku lebih pantas buat berdiri di samping Revan daripada kamu?"

Killa menoleh pada wanita itu. Wanita itu mengibaskan rambut sembari berkata, "Omong-omong, Revan sibuk, jadi jangan ngelakuin hal kekanakan yang bakal bikin dia repot. Dan ... dia udah punya janji makan malam."

Killa tak sempat bertanya lebih jauh tentang itu karena wanita itu kemudian menepuk bahunya dan pergi dari sana. Sementara, Tim sudah membuka pintu ruangan Revan untuknya. Killa akhirnya harus melanjutkan langkah dan masuk ke ruangan Revan.

Killa berhenti di tengah ruangan, sementara Tim sudah pamit keluar dan meninggalkan Killa hanya bersama Revan di ruangan itu. Killa tak mengatakan apa pun dan hanya menatap Revan yang tampak sibuk dengan laptop dan berkas di mejanya. Pria itu bahkan tampak sesekali memeriksa sesuatu di layar komputernya.

"Kenapa kamu tiba-tiba ke sini tanpa ngomong apa pun?" tanya Revan dingin tanpa menatap Killa.

"Maaf, Kak. Kalau Kak Revan sibuk, aku bisa balik lagi nanti begitu Kak Revan ada waktu," Killa berkata cepat.

Revan akhirnya mendongak dari laptopnya dan menatap Killa. Pria itu mengedik ke arah sofa. "Duduk," perintahnya pelan.

Killa menurut dan duduk di sofa ruangan itu. Killa bahkan masih bisa mencium sisa aroma parfum wanita tadi. Killa lantas menatap Revan yang meninggalkan meja kerjanya untuk duduk di seberang Killa.

"Kenapa?" tanya pria itu dengan nada dingin.

Killa meletakkan katalog yang tadi diberikan Vienny padanya dan meletakkannya di meja di antara mereka.

"Kak Vienny minta aku ngasih ini ke Kak Revan," Killa berkata. "Di sini ada pilihan venue pesta pernikahan kita. Aku tadi udah lihat beberapa dan aku suka ..." Killa mengatupkan bibir. Seolah Revan akan peduli pada kesukaannya.

"Kamu suka yang mana?" tanya pria itu.

Killa memasang senyum kecil. "Yang mana aja yang Kak Revan pilih."

Revan mengernyit. "Oke," balas pria itu dingin. "Ada lagi?"

Lihat, kan? Pria itu tidak peduli. Maka, Killa menggeleng dan berdiri.

"Kak Revan kayaknya sibuk, jadi aku langsung pulang aja," Killa pamit.

"Buat makan malam ..."

"Aku tahu Kak Revan sibuk dan Kak Revan udah punya janji makan malam, jadi aku akan makan malam sama Mama-Papa," Killa menyela kalimat pria itu.

Revan tak menanggapi selama beberapa saat. Hingga Killa menatapnya dan pria itu bergumam,

"Oke."

Pria itu bahkan tidak mau repot-repot memberitahu Killa siapa yang akan makan malam bersamanya nanti. Mungkin, bagi pria itu, itu tidaklah penting. Perasaan Killa tidaklah penting.

Namun, Killa belum pernah merasa insecure separah ini tentang dirinya. Setelah beberapa bulan yang lalu, ini adalah yang terparah. It's the worst.

***

Apa-apaan ini?

Revan tak bisa berkata-kata bahkan setelah Killa pergi begitu saja. Apa yang terjadi?

Janji makan malam apa yang dimaksud gadis itu? Apa yang dikatakan Tim padanya? Revan bahkan baru saja berniat memerintahkan Tim untuk mengatur jadwal makan malamnya agar dia bisa makan malam dengan Killa. Namun, apa? Gadis itu pergi begitu saja? Seperti ini?

"Tim!" Revan berteriak keras.

Tak lama, Tim bergegas masuk ke ruangan Revan. "Ya, Pak? Ada yang harus saya lakukan sekarang, detik ini juga?" tanya Tim.

Revan menatap Tim tajam. "Apa kamu bilang ke Killa kalau aku ada janji makan malam?" tembak Revan.

Tim mengerutkan kening. "Pak Revan memang punya janji makan malam dengan salah satu direktur kantor cabang yang diperkirakan baru akan sampai di sini sore ini, tapi saya nggak ngomong apa pun ke Nona Killa tentang itu," jawab Tim.

Revan mengerang frustrasi sembari menjambak rambutnya. "Pastiin orang yang ngikutin Killa lihat sendiri kalau malam ini, Killa nggak makan malam selain sama orang tuanya," geram Revan.

"Apa ... ada masalah, Pak?" tanya Tim hati-hati.

"Ya." Revan menatap Tim galak. "Killa mulai bertingkah aneh lagi." Revan menunjuk wajah Tim dengan jari telunjuknya. "Dan kali ini, kamu yang bertanggung jawab buat ngawasin dia langsung. Laporin semuanya langsung ke aku. Siapa aja yang dia temui, ke mana aja dia pergi, dan apa aja yang dia lakuin."

Tim mengerjap. "Saya ... maksudnya, Pak? Saya ini, Pak?" Tim menunjuk dirinya sendiri.

"Emangnya, kamu ada berapa?" sengit Revan.

"Ta-tapi ... saya sudah punya banyak pekerjaan karena jadwal Pak Revan juga ..." Tim mengatupkan bibir rapat ketika Revan melempar tatapan penuh peringatan.

"Kamu bikin semua jadwal itu sesukamu sendiri, now take your reward," desis Revan.

"Saya masih bisa membedakan mana reward dan mana punishment, Pak," jawab Tim pasrah.

"Then, never make the same mistake. Never. Ever. Again." Revan menatap Tim penuh ancaman.

"Baik, Pak." Lagi-lagi, Tim hanya bisa pasrah.

Well, dia sendiri yang memulai ini.

***

Killa baru akan menelepon sopirnya begitu tiba di lobi ketika tiba-tiba, sebuah mobil sedan putih berhenti di depannya. Jendela depannya kemudian terbuka dan Killa bisa melihat sosok Vienny di balik kursi kemudi.

"Need a ride?" wanita itu menawari.

Killa hanya mengangguk, lalu naik ke kursi penumpang depan mobil itu dan membiarkan Vienny membawanya entah ke mana. Killa tak mengatakan apa pun sejak dia naik ke mobil Vienny, tapi wanita itu juga tak bertanya apa pun padanya. Killa bahkan tak tahu kenapa Vienny bisa tiba-tiba ada di sana.

Sampai sepuluh menit berlalu dan mobil Vienny berhenti di lampu merah. Wanita itu bersenandung pelan sembari mengetukkan jemarinya di roda kemudi. Killa diam-diam mengamati Vienny.

Wanita itu tampak tangguh, kuat, dan dia begitu memesona. Cantik, mengagumkan, sukses dalam karirnya. Sempurna. Wanita yang tadi tak sengaja ditemuinya di kantor Revan, Leony, juga seperti itu. Dan tentu saja, Killa sadar jika dirinya tidak cukup pantas untuk berdiri di samping Revan.

Meski begitu ... Killa tidak ingin mengaku kalah seperti ini. Killa menolak kalah seperti ini.

"So, where do you wanna go, Lil Princess?" tanya Vienny kemudian.

"Adelia Wiratmadja," Killa menjawab. "Dia punya utang satu permintaan ke aku."

Vienny tersenyum miring. "This is why your fiancée going crazy worrying you," dengus Vienny geli, meski Killa tak tahu apa maksudnya.

***

I Love U and U Know It (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang