(1) Hari Pertama

79 14 3
                                    

Gadis yang mengenakan hoodie biru tua itu berdiri mematung sembari menatap takjub gedung tinggi di hadapannya. Matanya membulat sempurna dengan bibir yang terbuka lebar.

"Jadi ini sekolah baru gue?" gumamnya pelan.

SMA Mutiara Bangsa. Sekolah swasta elit yang terkenal karena biaya masuknya yang sangat tinggi. Oleh karena itu, hanya orang-orang tertentu saja yang bisa masuk ke sini dan biasanya terdiri dari anak pejabat, pengusaha, artis, dan lain-lain, kira-kira sekitar 1% saja yang masuk kesini melalui jalur prestasi. Salah satunya adalah Arumi, gadis yang saat ini masih ternganga dengan gedung sekolah barunya.

Karena banyak hal yang terjadi, kepindahan Arumi bisa dibilang tanggung. Sebab ia baru masuk sekolah seminggu setelah semester dua dimulai.

Atensi Arumi teralihkan saat sebuah mobil impor hitam melintas melewatinya. Matanya kembali membelalak saat melihat parkiran yang tak jauh dari tempatnya berdiri.

Mobil-mobil impor dengan warna yang berbeda berderet rapi. Beberapa motor ninja pun terlihat di sudut parkiran yang lain. Benar juga. Saat Arumi datang tadi, Denis—kakak sepupunya—menurunkannya di pos satpam. Oleh karena itu, ia tidak tahu dengan keadaan di parkiran.

Beberapa murid terlihat turun dari mobilnya. Ia dapat menghitung setidaknya dua dari tiga di antara mereka terlihat begitu familiar. Mungkin saja Arumi pernah melihat mereka di televisi ataupun sosial media.

Pemandangan itu membuat Arumi kembali tersadar kalau ia benar-benar bersekolah di sini. Gadis itu menggelengkan kepala, segera mengenyahkan pemikiran jelek yang hampir menghinggapi otaknya.

Kakinya kembali melangkah, memasuki lingkungan sekolah barunya. Gadis yang sekarang menduduki kelas sebelas itu menghentikan langkah kemudian mengedarkan pandangan.

Ia tidak tahu dimana letak ruang guru.
Karena Denis yang terburu-buru untuk mengumpulkan tugas, Arumi jadi tidak sempat menanyakan tempatnya. Namun, sepertinya ia bisa menanyakannya pada murid lain.

Saat itu segerombolan siswi berjalan melewatinya. Diam-diam Arumi mengikutinya dari belakang.

"Seriusan? Kok kayaknya bentar banget sih. Harusnya jangan di-skors doang, keluarin aja sekalian!"

Mendengar para gadis itu sedang mengobrol, Arumi menjadi agak ragu. Akan tetapi mengingat kalau tidak bertanya sekarang, yang ada nanti ia tidak bisa masuk ke kelas. Karena itu, ia segera mempercepat langkahnya kemudian menepuk pundak salah satu siswi.

Siswi berambut ikal itu lantas menoleh. "Siapa ya?" Gadis itu terlihat menatap Arumi dari atas kepala sampai ujung kaki membuatnya menjadi tidak nyaman.

Dengan memaksakan senyuman di bibirnya, Arumi bertanya, "Maaf, ruang guru ada dimana ya?"

"Oh, lo anak baru? Lo tinggal lurus, pas lewatin tangga lo belok kanan," jelas gadis itu.

Arumi mengangguk mengerti. "Makasih ya," balasnya lalu melenggang pergi.

Arumi menghembuskan napas panjang. Ia tidak mau berburuk sangka, tapi tatapan gadis tadi benar-benar mengusik pikirannya.

Karena masih pagi, angin berhembus kencang membuat Arumi merapatkan jaketnya. "Gara-gara dibawa keliling Kak Denis semalam, gue jadi meriang gini," gerutunya kesal.

"Heh, lo tahu? Yang bikin David babak belur masa skors-nya udah habis. Katanya sekarang dia udah mulai sekolah."

"Demi apa?!"

Arumi melirik dua orang gadis yang berjalan beriringan tak jauh di sisi kirinya. Mendengar yang diobrolkan oleh mereka, ia lantas mengernyitkan dahi. "Kayaknya dari tadi pada ngomongin orang yang di-skors dah."

Be(Twins) [Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang