"Sebenarnya gue udah tahu sifat asli dia dari dulu. Pernah sekali, gue mergokin dia lagi maki-maki sendirian sambil nendangin pohon di belakang sekolah. Dari situ dia gak pernah lagi jaga image di depan gue." Denis menendangkan kakinya ke pinggiran ranjang membuat kursi putar yang didudukinya bergerak mundur. "Makanya pas denger pembicaraan mereka gue udah gak kaget lagi," sambungnya setelah berhenti di depan meja belajar.
Arumi terdiam sesaat sebelum menurunkan pandangan pada martabak telur yang tersisa sedikit. Kalau yang dimaksud Denis hanya soal itu, ia juga tidak terkejut. Karena pada kenyataannya, David bahkan menjadikannya sebagai salah satu orang yang diharapkan menjauh dari Gio.
Denis bersila di atas kursi sambil menopang dagunya dengan tangan kiri di atas meja. "Sekarang lo paham kan kenapa gue bilang jangan deket-deket lagi sama si David?"
Arumi mengangkat wajah. Ia sempat ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk juga.
"Ah! Malah kayaknya gue lebih kaget lagi sama anak yang mukulin dia," ungkap Denis.
"Gio?"
Denis mengangguk. "Gue emang tahu sih dia itu anaknya bandel, cuma bukan bandel yang semacam tawuran atau berantem gitu. Paling kaya bolos atau parahnya sampe manjat benteng doang. Makanya pas gue lihat dia bikin David babak belur, gue lumayan kaget."
Terus terang Arumi juga setuju dengan Denis. Setelah mendengar cerita-cerita dari Chika perihal Gio, juga setelah mengenalnya selama ini, kenyataan tersebut memang cukup mengejutkan. Namun, siapa yang tahu? Ia juga tidak mengenalnya sebaik itu. Bisa dibilang apa yang ia lakukan sekarang hanyalah menebak-nebak.
Arumi menyimpan martabak telur di pangkuannya ke atas nakas kemudian membuka laci untuk mengambil tisu basah. "Ngomong-ngomong, aku penasaran."
Mendengar itu, Denis kembali mendorong kursinya mendekat.
"Kenapa ya Kak David gak ngebales Gio waktu dia dipukulin habis-habisan?" Arumi memiringkan kepala kecil. "Dari yang aku tahu, bukannya badan Kak David lebih besar dari Gio? Seharusnya buat ngelawan, dia mampu kan?" tanyanya lagi.
Denis tak langsung menjawab. Apa yang Arumi bilang cukup masuk akal. Sebenarnya apa alasannya? Ia memutar otaknya lebih cepat sampai satu jawaban terlintas di pikirannya.
"Kenapa lagi? Si David kan gila."
Arumi mengedipkan mata beberapa kali. Mau berapa kali dipikirkan, jawaban tersebut bukanlah sesuatu yang ia harapkan. Kakaknya ini benar-benar!
Membaca ekspresi Arumi, Denis buru-buru memberi penjelasan. "Gue bukannya asal ngomong. Itu jawaban gue setelah hampir tiga tahun sekelas sama dia," serunya.
Masih belum melihat respons positif dari adiknya itu, Denis menarik kursinya lebih dekat. "Lo sih gak tahu kalau dia tuh attention seeker, mana dendaman juga. Pernah ya waktu itu gue gak sengaja nginjek buku punya dia. Inget ya, gak sengaja. Dan lo tahu dia ngapain? Pas dia disuruh bawa buku ke kantor, dia sengaja jatuhin buku gue di koridor pas ada anak kelas lain yang lari-larian, ya udah lah, abis buku gue diinjek-injek."
Kembali mengingat peristiwa tersebut, tanpa sadar Denis menyodok pipi dalamnya dengan lidah dan mendengkus. Ia memutar matanya. "Yang bikin kesel! Selanjutnya dia malah pura-pura baik, sok-sokan ngomelin mereka yang nginjek buku gue terus abis itu ngebersihin buku gue. Dan itu di depan banyak orang! Gila gak sih tuh orang? Udah iya caper, dendaman, childish juga lagi!"
Hanya dengan menyaksikan betapa menggebu-gebunya Denis ketika menceritakan David, ia jadi penasaran apa saja yang sudah dilalui kakaknya saat menghadapi pemuda itu selama ini. Arumi hanya dapat meringis sebagai responsnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Be(Twins) [Slow Update]
Teen FictionSetelah kepergian ibunya, Arumi menginginkan kehidupan yang tenang. Namun, bagaimana jadinya jika ia malah terlibat dalam rahasia dua orang pemuda yang akan membuat hidupnya jauh dari kata tenang? ©Pinterest #1 bff 011124