(19) Jadi Bagaimana?

4 0 0
                                    

Ketika hendak berbelok ke arah ruang guru, David melihat Gio dan Arumi tengah berjalan di sisi lain koridor. Ia menghentikan langkah untuk sekedar menatapnya, membuat Denis—yang selalu menjaga jarak dua meter jauhnya—mau tak mau ikut berhenti.

Kedua remaja itu tampak akrab. Selalu ada tawa di sela pembicaraan mereka. Denis hanya melirik mereka sekilas sebelum beralih pada David yang masih terdiam di depannya. Posisi David yang memunggunginya membuat ia kesulitan untuk menebak bagaimana ekspresi pemuda itu saat ini.

Tidak mau mengeluarkan energi lebih untuk menerka isi pikiran saingannya itu, Denis kembali melanjutkan langkah. "Lo gausah mikir yang aneh-aneh dah," ujarnya begitu melewatinya.

Mendengar itu, David seketika menoleh. Otomatis melangkah ketika melihat punggung Denis mulai menghilang di belokan. "Yang aneh-aneh apa sih?" tanyanya sambil mengernyit.

Tanpa susah payah berhenti, Denis pun membalas, "Peringkat satu sekolah ini harusnya gak bodoh kan?"

"Terserah lo deh," sahut David, enggan berdebat.

Beberapa saat kemudian, Denis berhenti dan menoleh. "Jangan berani lo sentuh mereka. Inget, gue kakaknya."

David menelengkan kepala. "Lo punya adek?" tanyanya heran karena setahunya Denis adalah anak tunggal.

Denis berdecak. "Kakak kelas, bodoh." Ia pun melenggang pergi, meninggalkan David yang mengeraskan rahang kesal.

Sampai kapan pun ia tidak akan pernah bisa akur dengan gadis itu!

Kembali kepada Gio dan Arumi. Usai pembicaraan di belakang sekolah selesai, mereka berniat untuk mengunjungi Chika di UKS. Namun, sebelum itu Gio meminta Arumi untuk menunggu sebentar, dia bilang ada yang tertinggal.

Meski bingung apa yang sebenarnya tertinggal, Arumi mengangguk saja membuat dirinya kemudian menyaksikan Gio malah memanjat benteng sekolah—yang selanjutnya membuat Gio menceritakan alasan kenapa ia sering membolos.

Arumi tertawa sambil menggeleng. "Sumpah, mau gue denger berapa kali pun, alasan lo itu konyol banget."

Gio terkekeh pelan sambil mengangguk. Tangan kirinya sibuk mengayunkan plastik hitam ke depan dan ke belakang membuat perhatian Arumi terarah pada tangannya.

"Demi cilok, Yo ... lo sampe manjat benteng." Tatapan Arumi beralih padanya. "Terlalu niat lo."

Gio menyunggingkan senyuman. "Haruslah, gue kan udah pernah cerita soal gue yang gak boleh jajan jajanan pinggir jalan ke lo. Cuma ini satu-satunya cara biar gue gak ketahuan Bunda."

"Iya, gue tahu, tapi emang gak bisa apa pas pulang sekolah lo jajannya? Lagian lo bawa motor sendiri kan?"

Gio mengangkat sebelah alisnya lalu manggut-manggut. "Bisa aja sih, tapi sayangnya gue gak sebebas yang lo kira."

Arumi tertegun. Entah kenapa, rasanya ada makna tersembunyi di balik ucapan tersebut. Terlebih, ia semakin yakin setelah melihat ekspresi Gio saat ini. Namun, Arumi tidak berani membahasnya.

"Iya, perkiraan gue bener-bener salah, lo sama sekali jauh dari bayangan gue," sahutnya tak lama kemudian.

Gio menoleh penasaran. "Seberapa jauh?"

"Bayangin aja. Siapa sih yang bakal nyangka lo bolos buat kulineran doang?"

Wajah Gio berubah cerah. "Lo gak tahu aja sebanyak apa abang-abang yang jualan di belakang sekolah kita."

Gio yang tersenyum lebar membuat Arumi tanpa sadar ikut mengulas senyuman. Namun, seolah-olah hati nurani berusaha mengingatkannya, bayangan Gio yang kalut kembali muncul di benaknya membuat senyuman di bibirnya seketika lenyap.

Be(Twins) [Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang