(12) Tumbang

9 3 0
                                    

Arumi memasuki gedung les sembari menyenandungkan lagu kesukaannya. Setelah berbaikan dengan Chika, suasana hatinya membaik membuat langkahnya ringan.

Melewati lobi, matanya menangkap sosok familiar yang berdiri di depan vending machine. Spontan kakinya melangkah menuju pilar terdekat untuk menyembunyikan diri.

"Itu kan ...." Arumi mengintip diam-diam.

Mengamati jaket coklat bermotif batik yang dipakainya, ia lantas menyadari kalau dia adalah Ardio. Tidak salah lagi, karena jaket itulah yang pernah dipinjamkan sebelumnya.

Gadis itu sempat kembali takjub setelah teringat akan harga jaket tersebut. Namun, ia segera menggeleng. Sekarang bukan itu yang penting, melainkan bagaimana cara agar ia bisa lewat tanpa diketahui oleh Ardio.

Karena kejadian kemarin, Arumi tidak mau bertemu dulu dengan Ardio. Sejujurnya ia malu, apalagi saat mengingat respons pemuda itu kemarin. Arumi memejamkan matanya lelah.

Kemarin, tepat setelah Arumi melontarkan pertanyaan konyolnya, Ardio sebenarnya tak banyak merespons. Ia hanya menatapnya dengan alis menyatu. Sepertinya ia bingung dan Arumi jelas mengerti itu. Sebab ia sendiri juga heran, kenapa juga malah bicara seperti itu.

Melihat Ardio membungkuk untuk mengambil minumannya, Arumi merasa saat inilah yang tepat. Ia segera berlari sambil berusaha menutupi wajah dengan rambutnya.

"Mau kemana?" Tiba-tiba Ardio sudah menghalangi jalan dengan tangan kanan yang terentang.

Jika Arumi telat sedetik saja mungkin saat ini ia sudah menabraknya. Namun, karena refleksnya yang cepat, ia dapat menghindari hal itu dan mengerem dengan tepat. "Lo! Bahaya tahu ...." Arumi menggantungkan kalimatnya begitu mendongak.

Sosok Ardio yang selalu memakai masker hitamnya kini tidak lagi berdiri di hadapannya. Karena saat ini wajahnya sama sekali tidak tertutupi apapun—meskipun kacamata dan poninya masih sama.

"Kok ... mana masker lo?"

Ardio menatapnya lurus. "Katanya lo mau lihat muka ganteng gue," tuturnya dengan wajah datar.

Arumi membelalak. Sontak mengangkat bahunya, menarik diri. "I-itu—"

"Bercanda," tukasnya kemudian berbalik. "Gue udah sembuh." Ardio memasukkan sisa koin ke dalam mesin tersebut.

Berdeham. Arumi berusaha mengendalikan diri dan mendekat. "O-oh, lo beneran sakit?"

"Hm." Ardio menoleh. "Mau yang mana?" Ia menunjuk deretan minuman di hadapannya.

Arumi mengerjap bingung. "Buat apa?"

"Buat tisu kemarin."

"Gausah."

Ardio menghembuskan napasnya. Menatap tepat mata Arumi, ia berujar, "Gue gak suka punya utang."

"U-utang—kaya apaan aja lo!" Arumi mengambil langkah menuju kelasnya.

Ardio hanya menatap kepergiannya dalam diam, sama sekali tak memiliki niatan untuk menahan gadis itu. Kembali mengalihkan perhatiannya pada mesin di depan. Jemarinya siap menekan tombol di bawah soda kalengan yang biasa Arumi minum, tetapi Ardio teringat sesuatu. Ia pun mengubah pilihannya dan memilih soda dalam kemasan botol yang berukuran lebih besar di sampingnya. Setelah itu, ia pun melenggang pergi.

Di kelas, Arumi sedang mengeluarkan alat tulisnya untuk pembelajaran hari ini. Ponsel di samping bukunya menyala, ia pun mengambilnya. Alisnya terangkat ketika melihat ada pesan dari nomor asing terpampang di layar.

+62**********
arum, simpen no gue ya
tertanda : Gio ^^

Arumi mengusap keningnya lelah. Ia lupa. Siang tadi ia memang memberikan nomornya kepada Gio. Meskipun sejujurnya ia ingin menolak, tetapi dengan adanya Chika membuat ia tidak bisa melakukannya. Ditambah juga, jika ia terus menjaga jarak dengan pemuda itu, hubungan mereka tidak akan membaik dan itu berkebalikan dengan niatnya untuk berhenti mengikuti egonya.

Be(Twins) [Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang