Kala itu adalah malam sebelum Gio kembali masuk sekolah setelah masa skorsing-nya. Berhubung sang bunda belum pulang dari luar kota, seperti biasa ia akan pergi ke tempat langganannya untuk membeli nasi goreng pinggir jalan favoritnya. Ini adalah satu-satunya kesempatan baginya, karena jika ada ibunya ia pasti tidak akan diizinkan. Karena mau bagaimanapun, Gio sangat dilarang untuk membeli sesuatu yang dijual di pinggir jalan. Namun, bagaimana bisa ia hidup tanpa nasi goreng buatan bapak langganannya? Itu hal yang mustahil.
Dengan memakai hoodie, topi, dan juga maskernya, Gio pun siap untuk pergi. Alasan kenapa penampilannya seperti itu adalah karena ia takut bertemu dengan salah satu pegawai ibunya nanti. Karena ibunya itu merupakan pemilik dari laundry yang memiliki cabang di mana-mana. Oleh karena itu tak jarang saat Gio pergi keluar, pasti saja ada yang menyapanya.
Dengan hati yang berdebar, Gio pun pergi ke tempat tersebut menggunakan motor kesayangannya. Sesampainya di sana, ia segera memarkirkan motornya. "Pak, biasa! Nasi goreng spesialnya satu," pesan pemuda itu penuh semangat.
"Yah, Jang, udah habis nasi gorengnya."
Mendengarnya, dunia seakan runtuh saat itu juga. Gio menatap bapak itu dengan tatapan nanar. "A-abis, Pak?" tanyanya lagi.
"Iya, ini ada juga buat si eneng." Si bapak menunjuk seorang gadis yang berdiri tak jauh darinya sebelum kembali fokus menggoreng nasi.
Pundak Gio melemas seraya menatap bapak penjual nasi goreng itu sendu. "Padahal saya udah ngebayangin makan nasi goreng buatan bapak dari tadi. Emang gak ada sisa dikit aja gitu? Gapapa setengah porsi juga. Saya bakal beli."
Bapak itu menggeleng. "Ini udah butir nasi terakhir, Jang. Coba kamu datangnya siangan, pasti kebagian. Bapak sengaja bawa dikit soalnya tadi."
Gio membeku di tempat. Ia jadi menunduk sedih. "Yaudah deh, gapapa. Makasih ya, Pak." Ia menghembuskan napasnya lalu kembali ke motornya.
Hancur sudah harapannya.
Padahal sudah hampir sebulan Gio tidak bisa memakan nasi goreng tersebut. Namun sekarang malah begini. Ia tidak yakin kalau besok ia bisa kesini lagi karena sudah waktunya sang bunda pulang.
Pemuda itu mengambil kunci motor dari saku hoodie-nya. Menaiki motornya lalu hendak memasukkan kunci. Namun tangannya berhenti dan malah menghela napas. Benar juga, ia kan belum makan malam. "Tahu gini gue gak nyuruh Bibi pulang tadi."
Ketika Gio tengah merenung, tiba-tiba gadis—si pelanggan terakhir—itu menghampirinya. Terlihat ia mengambil satu bungkus nasi goreng dari dalam kantung kresek di tangannya. "Ini buat lo," ucap gadis itu sambil menyodorkannya pada Gio.
Gio terdiam menatap sebungkus nasi goreng di tangan gadis itu tak percaya. "S-serius?" tanyanya.
Gadis itu mengangguk. "Kebetulan gue beli banyak. Itu buat lo aja gapapa," katanya.
Segera Gio mengambil sebungkus nasi goreng itu lalu menatapnya di tangannya. Ini bukan mimpi kan? Pemuda itu jadi tersenyum lebar saking senangnya.
Baru saja hendak berterima kasih, gadis itu sudah berbalik hendak pergi. "Eh, tunggu!" ujar Gio masih di atas motornya.
Gadis itu pun menoleh padanya. "Makasih nasi gorengnya!" seru Gio membuat gadis itu mengangguk samar seraya tersenyum padanya. Dan tanpa menunggu lama, ia pun kembali melanjutkan langkahnya.
Gio terpaku di tempatnya. "Bidadari ...," ujarnya seakan tersihir oleh senyuman yang diberikan oleh gadis itu.
Helaan napas lolos begitu saja dari mulut Gio. Mengingat pertemuan pertamanya dengan Arumi membuat rasa bersalahnya makin besar. Padahal gadis itu baik padanya tetapi ia malah membalasnya begitu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Be(Twins) [Slow Update]
Teen FictionSetelah kepergian ibunya, Arumi menginginkan kehidupan yang tenang. Namun, bagaimana jadinya jika ia malah terlibat dalam rahasia dua orang pemuda yang akan membuat hidupnya jauh dari kata tenang? ©Pinterest #1 bff 011124