"Gue gak tahu lo deket sama Kak David." Chika menyenggol lengan Arumi sambil mengerling jahil. Begitu mendapat reaksi seperti bayangannya-Arumi yang memutar mata sambil berdecak-ia langsung tertawa.
"Bagus, bahagia di atas penderitaan orang lain," ucap Arumi sarkas lalu mengambil langkah dua anak tangga sekaligus-agar dapat cepat-cepat meninggalkan Chika.
"Penderitaan katanya ...." Chika menggeleng samar. Padahal jika dirinya, ia akan senang bukan main karena bisa diperebutkan oleh dua pemuda pentolan sekolah seperti itu. Namun, sahabatnya ini malah marah. Setelah diam beberapa saat. "Tapi, emang iya sih," gumamnya lagi, mengingat bahwa bukan hanya hal baik saja yang dapat terjadi karena peristiwa itu.
Baru sampai di lantas atas, Arumi yang sudah berjalan mendahuluinya terlihat memutar langkah. "Loh, Arum, mau kemana?"
"Bagian gue ambil buku."
Chika melihat ke depan, ada ketua kelas serta dua teman lainnya di sana. Wajahnya langsung menekuk. "Udah tahu orang baru sembuh malah disuruh-suruh."
"Udah, gapapa. Lagian emang tugas gue kok." Ia menenangkan Chika lalu menyerahkan ransel miliknya. "Tolong bawain ya," katanya minta tolong sambil meringis.
Bibirnya masih mengerucut, tetapi Chika menerimanya dengan senang hati. "Gausah minta tolong juga bakal gue bawain kali!"
Arumi tersenyum samar. "Yaudah, gue ke perpus dulu."
"Eh, Arum." Chika menahan tangannya. "Gue ikut ya."
"Gausah, sosiologi cuma butuh enam buku paket, gak bakal berat kok."
Chika menipiskan bibir lalu dengan enggan melepaskan tangannya. "Kalau ada apa-apa, chat aja."
Arumi mengekeh ringan. "Emang bakal ada apa?" ujarnya lantas menuruni tangga.
Selama perjalanan menuju perpustakaan, beberapa pasang mata terus tertuju padanya, banyak di antara mereka juga yang membisikkan sesuatu. Meskipun terganggu, Arumi berusaha menghiraukan semua itu dan terus melangkah.
Ketika melewati toilet yang berada di samping perpustakaan, tanpa sengaja ia mendengar seseorang yang berbicara.
"Hobi lo emang gak pernah berubah ya?"
Arumi menghentikan langkah. Ia menggaruk telinganya pelan. Suara itu terdengar familiar, tetapi ia tidak begitu yakin siapa pemiliknya. Secara naluriah gadis itu mendekatkan telinganya karena penasaran. Namun, suara sesuatu yang jatuh segera mengagetkannya.
"Jantung gue ...." Arumi melotot sambil menyentuh dadanya sebelum perlahan menjauh. Ia melirik tempat itu sejenak sebelum menggeleng. Lupakan rasa penasaran itu, lebih baik ia segera kembali pada tujuannya.
Pintu besar perpustakaan sudah berada di depan matanya. Sebelum benar-benar melangkah masuk, Arumi menyempatkan diri untuk menoleh ke arah toilet tadi. Matanya melebar. Barusan Gio baru saja keluar dari sana. Meskipun sekilas, ia dapat melihat raut masam di wajah pemuda itu. Karena jarak mereka yang jauh, Arumi sempat meragukan penglihatannya itu. Namun, begitu Gio melepas jaketnya lalu melemparkannya ke tempat sampah terdekat, keraguannya seketika hilang. Tampaknya pemuda itu benar-benar marah.
"Lo mau masuk apa nggak sih?" Pertanyaan tersebut langsung menarik atensinya.
"Lo ngalangin jalan," ujar gadis itu lagi.
"Sorry." Arumi buru-buru membuka pintu dan masuk ke perpustakaan. Ia melirik gadis yang kini berjalan ke pojok ruangan itu sambil menggaruk tengkuknya. "Auranya serem banget ...."
Arumi mengedarkan pandangan. Berhubung sudah masuk, ia segera melangkah menuju rak buku paket kelas sebelas. Menemukan yang dicarinya, ia pun mengambilnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Be(Twins) [Slow Update]
Teen FictionSetelah kepergian ibunya, Arumi menginginkan kehidupan yang tenang. Namun, bagaimana jadinya jika ia malah terlibat dalam rahasia dua orang pemuda yang akan membuat hidupnya jauh dari kata tenang? ©Pinterest #1 bff 011124