Begitu masuk, pemandangan kelas yang kosong menyambutnya. Arumi jadi teringat kalau saat kuis tadi ia adalah orang pertama yang berhasil pulang. Mengaitkan ranselnya di samping meja, matanya menatap deretan meja dan kursi di depan.
Hari ini ia kembali duduk di bangku yang sama seperti kemarin. Meskipun sebelumnya ia tidak mau duduk di sini karena malas berhubungan dengan Ardio, tetapi entah kenapa di sini cukup nyaman. Mungkin karena letaknya hampir di pojok kelas jadi suasananya cukup tenang. Yah ... meski sebenarnya Ardio ikut andil juga—dengan diam saja sepanjang pelajaran.
Pintu yang terbuka mengambil atensinya. Ardio masuk dengan tangan kiri di dalam saku jaketnya. Arumi segera mengalihkan pandangan ke depan. Pura-pura tak peduli dengan pemuda yang kini sudah duduk di sampingnya.
Hening.
Hanya mereka berdua yang ada di kelas. Meskipun sebelahan, tidak ada satupun di antara mereka yang berniat membuka suara untuk sekedar mengobrol. Meski begitu, diam-diam Arumi memperhatikan Ardio.
Terlepas dari sikapnya yang dingin, Ardio merupakan pemuda yang rajin. Tanpa harus mengenalnya pun hal itu akan langsung diketahui hanya dari melihat saja. Karena dibanding murid lain yang memilih mengobrol saat kelas belum dimulai, Ardio lebih memilih untuk menunduk pada bukunya. Arumi tidak tahu ia sedang apa, entah mengulas pelajaran atau sekedar membaca, yang pasti pemuda itu terus belajar mau kapan pun waktunya.
"Bisa berhenti gak?"
Arumi tersentak kemudian mengalihkan pandangan ke arah lain. Sebelum akhirnya ia kembali tersadar kalau tidak ada siapapun selain dirinya dan pemuda itu di sana.
"Lo ngomong sama gue?" tanya Arumi sambil menunjuk dirinya sendiri.
Ardio menyimpan pensil dari tangannya sebelum memalingkan wajah. "Gue bukan patung di museum yang bisa lo lihatin terus."
Arumi mengerutkan dahi. "Apa?"
"Lo kira gue gak sadar?"
Arumi mengerjapkan matanya. Sepertinya Ardio menyadari kalau ia menatapnya sejak tadi. Kalau begini mau bagaimana lagi, ia harus meminta maaf karena membuat orang lain tidak nyaman.
"Gue tahu gue ganteng tapi yang lo lakuin itu ganggu tahu gak?"
Arumi terdiam sejenak. Sempat meragukan pendengarannya, ia memiringkan kepala kecil dengan alis menyatu. "Apa lo bilang?"
"Lo itu ganggu."
"Gak, sebelum itu."
"Gue ganteng."
Arumi mendengkus keras. Ia sungguh tidak menyangka ada orang yang dengan percaya dirinya berkata begitu tentang dirinya sendiri. Walaupun wajahnya tidak terlihat jelas, Arumi yakin kalau pemuda itu benar-benar serius dengan ucapannya.
Ardio membenarkan letak kacamata lalu menatap Arumi heran. Memangnya ada yang salah dengan ucapannya tadi?
"Oke, gue minta maaf karena gue ganggu seperti yang lo bilang. Tapi kalau lo bilang gue ngelakuin itu karena lo 'ganteng', sorry banget ya, jawabannya bukan!" Arumi mengutip kata 'ganteng' dengan jarinya. Lagian muka lo aja gak keliatan, dasar! Ia menggeleng pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Be(Twins) [Slow Update]
Teen FictionSetelah kepergian ibunya, Arumi menginginkan kehidupan yang tenang. Namun, bagaimana jadinya jika ia malah terlibat dalam rahasia dua orang pemuda yang akan membuat hidupnya jauh dari kata tenang? ©Pinterest #1 bff 011124