Terdapat penggunaan bahasa kasar dalam bab ini, dimohon kebijakannya.
~~~
Arumi mematung di tempat dengan mata terbelalak. Hal yang sama pun berlaku pada si pelaku. Setelah termakan oleh emosi sesaat, ia dengan gegabah mengangkat tangannya. Namun, bukan Arumi yang menerima tamparan itu, melainkan Chika—yang tiba-tiba menyerobot di antara mereka.
"L-lo ...." Gadis itu melangkah mundur, baru tersadar dengan apa yang telah dilakukannya.
Merasakan perih menjalar di pipi, Chika menjilat sudut bibirnya yang berdarah. Ia menoleh hanya untuk mendapati bahwa gadis di depannya sudah gemetar ketakutan. Ia mendengkus samar. "Lo. Kalau mental lo bakal seciut itu setelah nampar orang, gausah sok-sok-an ngelabrak deh."
Meskipun tersinggung, gadis itu hanya dapat terdiam.
Chika mendecak, padahal ia ingin membalas tamparan tadi, tetapi apa-apaan ini? Matanya menyorot tajam. Ia menggerakkan kepala kecil ke arah pintu. "Sana pergi, gue gak bakal ngelaporin semua ini."
Gadis itu mengepalkan tangannya erat. Harga dirinya telah hancur. Meski Chika sudah jelas meremehkannya, ia tetap tak dapat berbuat apa-apa. Ia telah keliru, tidak seharusnya ia melakukan sesuatu yang dapat mengundang perhatian guru seperti ini.
"Masih di sini aja?"
Gadis itu meliriknya sekilas. "Sial!" umpatnya sebelum akhirnya pergi.
"Yee dasar! Makasih-makasih kek lo!" ujar Chika sambil menendang udara ke arah pintu.
Chika menghembuskan napas sebelum menyentuh sudut bibirnya. Merasakan perih, ia refleks meringis. Oh, iya! Chika berbalik. Matanya spontan membola tatkala melihat air mata yang terkumpul di pelupuk mata Arumi.
"Arum, kenapa?! Lo diapain lagi sama cewek tadi, ha?" Chika menyentuh kedua pundak Arumi lalu meneliti tiap sudut dari tubuh gadis itu. "Mana yang sakit?"
Setelah hanya diam menatapnya, Arumi akhirnya bicara. "Maaf."
Chika tertegun. Beberapa saat kemudian, senyumannya mengembang. Ia pun menggeleng. "Kenapa lo yang minta maaf?"
Seolah-olah tidak mengerti ucapan Chika, Arumi kembali meminta maaf. Ia melepaskan tangan yang mencengkeram pundaknya. "Gara-gara gue, lo jadi terluka."
"Arum, apa sih? Bukan—" Chika hendak menyentuh Arumi kembali, tetapi tangannya langsung ditepis.
Arumi melangkah mundur. "Harusnya gue yang—maaf," ucapnya lirih dengan kepala tertunduk.
Chika terdiam cukup lama. Bibirnya tertarik sebelah sambil berdengkus pelan. "Kenapa sih orang-orang di sekitar gue suka banget nyalahin diri sendiri?" gumamnya dengan mata memanas.
Chika melangkah mendekat membuat Arumi mengangkat wajah. "Gak lo gak Gio, lo berdua sama aja!" Chika berbalik lalu mengusap matanya yang basah dengan lengan sweter. Sedangkan Arumi hanya dapat mengerjap bingung.
Memandang punggung Chika yang bergetar, Arumi pun mendekat. Ia menyentuh pundaknya, tetapi Chika segera mengedikkan bahu—membuat Arumi refleks menarik tangannya lagi. "Chika, ada apa?" tanyanya setelah agak menjaga jarak.
Cukup lama Arumi menunggu sampai akhirnya Chika mau menatapnya. Namun, selanjutnya ia malah melihat wajah Chika yang sudah basah oleh air mata. Mata Arumi spontan melebar. "K-kenapa?"
Bukannya menjawab, tangisan Chika malah mengencang. "Arum ...!" Chika menarik tangannya lalu menatapnya dengan tatapan memelas. "Gio gak mau temenan lagi sama gue!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Be(Twins) [Slow Update]
Teen FictionSetelah kepergian ibunya, Arumi menginginkan kehidupan yang tenang. Namun, bagaimana jadinya jika ia malah terlibat dalam rahasia dua orang pemuda yang akan membuat hidupnya jauh dari kata tenang? ©Pinterest #1 bff 011124