"Mulai sekarang, berhenti manggil gue Ardio."
Perintah tidak masuk akal itu mengudara di tengah suara bising kendaraan yang berlalu lalang. Arumi yang mendengarnya refleks menoleh dengan kerutan samar di kening.
"Terus gue harus panggil lo apa kalau bukan Ardio?"
Ardio meliriknya sekilas. "Bikinin gue nama panggilan," titahnya tak tahu malu. Dapat dilihat dari tingkahnya yang malah sibuk memperhatikan jalan raya di depan.
Sekilas Arumi sempat kesal, tetapi segera berganti dengan rasa penasaran. Ia mengamati Ardio cukup lama. Menerka-nerka apa alasan pemuda itu meminta hal yang menurutnya sangat aneh ini. Sampai akhirnya ia bertanya, "Kenapa harus gue?"
"Kenyataannya, gak ada lagi yang bakal manggil gue selain lo di sini."
Arumi tertegun. Entah kenapa, jawaban itu seperti menyiratkan arti lain, sesuatu yang ... cukup menyedihkan. Namun, cara pemuda itu mengucapkannya membuat hal tersebut terdengar seperti bukanlah apa-apa.
"Oke." Arumi mengangguk lalu memalingkan wajah. "Gue bakal bikinin lo nama panggilan, tapi sebelum itu ...." Ia memandang Ardio yang masih tidak menatapnya.
"Menurut lo, jarak di antara kita ini normal gitu?"
Duduk di kursi panjang halte, keduanya sama-sama menunggu kendaraan untuk pulang. Arumi tengah menunggu angkot, sedangkan Ardio menunggu jemputan. Memang bukan sesuatu yang aneh, tetapi cara mereka duduklah yang membuatnya aneh. Seolah-olah tidak saling mengenal, keduanya duduk di masing-masing ujung kursi, saling menjauh seperti orang yang bermusuhan.
Awalnya memang Arumi yang terlebih dahulu duduk di ujung kursi, tetapi maksudnya untuk memberikan tempat kosong di sampingnya kepada Ardio. Namun, pemuda itu malah melakukan hal yang sama dengannya dan membiarkan adanya celah kosong di antara mereka.
Pundak Ardio yang sedikit tersentak membuat Arumi sontak memicingkan mata. Hal tersebut seketika memicu munculnya ingatan beberapa saat yang lalu di benaknya. "Gue inget! Lo bahkan udah jauhin gue dari pas lo datang tadi!"
Arumi meluruskan telunjuknya semangat begitu teringat Ardio yang terus mempercepat langkah setiap ia mencoba berjalan di sampingnya.
Dengan cepat Ardio membantah, "Keegeran juga ada batasnya!"
Arumi langsung dibuat melongo. "Apa lo bilang?"
Embusan napas kesal lolos dari bibirnya. Arumi yang kehilangan kesabaran lantas bangkit, berjalan mendekat lalu duduk tepat di samping pemuda itu. Mari kita lihat siapa yang benar! Jika Ardio diam saja berarti memang ialah yang kegeeran, sebaliknya jika Ardio pergi atau hanya sekedar menunjukkan gestur tidak nyaman berarti benar bahwa ia menghindarinya.
Satu, dua .... Arumi masih menunggu, tetapi Ardio masih belum menunjukkan gerak-gerik hendak bangkit. Tiga! Dalam sekejap, ia menoleh. Senyuman penuh kemenangan seketika terbit di bibirnya begitu melihat Ardio kini mengalihkan pandangan darinya.
"See? Bukan gue yang kegeeran, tapi emang lo yang menghindar."
"Oke, lo yang menang ... jadi sekarang jauh-jauh dari gue!" titahnya tetap dalam posisi.
Terkadang ada masanya Arumi menjadi keras kepala dan mungkin saat inilah salah satunya. Bukannya menjauh seperti yang Ardio bilang, gadis itu malah makin mendekat dengan melongokkan kepala.
"Lagian, kenapa lo jauhi—akh!" Arumi seketika tercengang sambil memegangi keningnya karena Ardio tiba-tiba menoyor kepalanya.
Ardio sudah berdiri sambil menutupi wajahnya dengan lengan. "Lo denger gak sih gue ngomong apa?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Be(Twins) [Slow Update]
Teen FictionSetelah kepergian ibunya, Arumi menginginkan kehidupan yang tenang. Namun, bagaimana jadinya jika ia malah terlibat dalam rahasia dua orang pemuda yang akan membuat hidupnya jauh dari kata tenang? ©Pinterest #1 bff 011124