[Name] berjalan di lorong sekolah, berbelok hendak melangkah ke dalam kelas. Namun, kakinya berhenti, bergeming di bingkai pintu.
Ia menghela napas saat menemukan meja dan kursi miliknya dicoret tinta merah bertuliskan vampir. Disusul ejekan lain seperti kulit pucat, mayat hidup, dan monster mata merah.
“Aku terima kalau dikatai kulit pucat soalnya kulitku memang berwarna kayak gitu,” gumam [Name] sambil mengernyit. “Kalau buat mayat hidup dan monster mata merah ... aku sehat walafiat, kok?”
Dia melirik ke kanan, di mana ada sekumpulan anak laki-laki dan perempuan tertawa sambil melirik ke arahnya.
[Name] mengulum bibir seraya mengangguk maklum. “Kalau kubilang kayak gitu ... mereka pasti nggak bakal dengar ... kayak dulu.”
Sekelebat ingatan lalu melintasi benak. Saat-saat ia membela diri di hadapan anak-anak yang mengejek dia. Namun, dibalas tawa karena mereka menganggap ejekan itu adalah candaan belaka.
Tanpa tahu bagaimana korban merasakan dampak.
[Name] beranjak pergi. Memilih membolos pelajaran kedua hari ini. Ia tak mungkin menghabiskan waktu untuk membersihkan meja itu di saat yang lain sibuk mendengar penjelasan guru. Dia sekolah bukan untuk membereskan kejahilan anak-anak itu.
Walaupun bolos juga salah.
“Oh? Apa kakak juga bolos, ya?” [Name] menyentuh dagu. Perasaan senang menghinggapi hati sesaat setelah ia mengingat si surai putih kecil.
“Semoga ada, deh!” Dia melangkah riang, juga tersenyum ceria. Pergi ke arah taman belakang sekolah.
Ia berhenti saat mendapati sosok anak laki-laki surai putih duduk membelakangi di anak tangga pertama di teras belakang gedung sekolah—yang mengarah ke taman. [Name] mengembangkan senyum kala menyadari itu adalah Gojo.
“Kakaaak!” Dia berlari ke arah anak itu.
“Huh?” Gojo menoleh ke belakang. Satu alisnya spontan terangkat saat menemukan [Name] berlari kepadanya.
“Kakak bolos juga?” tanya [Name] berhenti lari, kemudian duduk di samping si surai putih.
“Kau sendiri?”
“Seperti yang Kakak lihat! Omong-omong, Kakak baca buku?” [Name] memiringkan kepala.
“Kayak yang kau lihat,” jawab Gojo cuek. Kemudian kembali membaca buku dalam genggaman tangan kanan.
“Oh? Kupikir Kakak bukan tipe yang baca buku.”
“Memang bukan, sih, tapi aku tertarik sama satu hal makanya kucari di buku ini!” Gojo menutup buku itu menggunakan satu tangan. “Kau kenapa bolos lagi?”
“Oh ....” [Name] menatap ke depan. Senyumannya melebar. “Saat aku masuk, mejaku sudah dicoret-coret oleh penghuni kelasku. Karena nggak mau habisin waktu buat membersihkan perbuatan mereka, aku kabur, deh.”
“Kau bisa lapor pada guru. Kenapa nggak lakukan itu?”
“Aku sangat ingin melakukannya, tapi ... apa orang-orang itu bakal berhenti jika ditegur guru?” Senyumnya berubah sendu. “Andai saja aku punya kekuatan mengendalikan pikiran. Sudah kugunakan itu pada mereka, tapi ... pasti aku bakal jahat banget.”
“Kenapa kau berpikir kayak gitu?” Gojo mengernyit. “Mereka sudah salah, ya, harus dibalas, 'kan?”
Pikiran anak ini kenapa, sih? batinnya.
“Kalau seperti itu ... aku enggak ada bedanya dengan mereka, dong.”
“Ha?” Gojo mengangkat sebelah alis. “Kau mau jadi orang baik?”
“Jadi orang baik itu sulit, setidaknya aku nggak mau jadi orang jahat.”
“Di mataku kau sudah baik. Aku heran kenapa kau tenang-tenang saja dan menganggap remeh ejekan mereka seolah itu tak masalah. Kau ini malas meladeni atau apa, sih?”
“Percuma diladeni. Aku udah bilang, 'kan, Kak? Mereka ditegur terus pun nggak bakal mendengar.”
“Kau bilang itu sebelum mencoba meladeni mereka, 'kan?”
[Name] membeku. Tak dapat menyangkal. Karena ia bilang seperti itu sebelum bertindak untuk membela diri.
Namun, ia punya alasan untuk itu.
“Aku sudah capek.”
Gojo melirik. Mendapati sang gadis menunduk menatap jari-jari di atas pangkuan.
“Ada beberapa hal yang kualami. Dulu aku pernah diejek oleh sepupuku sendiri, saat membela diri ... dia malah tertawa dan bilang jika itu hanya candaan padahal ejekannya benar-benar menyakitiku.”
Dia memeluk kedua kaki. Menenggelamkan wajah di antara lutut. “Setelah itu, kupikir aku saja yang terlalu berlebihan menganggap ucapannya serius, tapi seiring waktu berjalan ... rasanya benar-benar sakit sampai aku lelah dan berpikir 'itu tak masalah, itu wajar, semua orang tak bisa menyukaiku, satu-satunya cara untuk tak tersinggung adalah bersikap tak acuh'.”
[Name] mengangkat wajah. Menoleh ke arah Gojo sambil menyungging senyum lebar. “Sejak saat itu aku nggak peduli lagi! Walaupun keinginan buat memiliki teman tetap muncul.”
Anak ini ... bagaimana dia bisa mikir kayak gitu? Dia lebih muda dariku, 'kan? batin Gojo sambil memasang ekspresi aneh.
“Aku juga sudah melupakan masa lalu, kok. Buang-buang waktu kalau diingat terus.”
“Kau serius anak berumur delapan tahun, huh?”
“Eh?” [Name] mengerjap bingung.
“Ah, sudahlah.” Gojo mengusap belakang kepala. “Anak mana yang menganggumu?”
“Mereka banyak. Eeeh, aku tidak tahu namanya siapa, tapi ... aku menjuluki mereka laki-laki rambut merah, laki-laki rambut oranye, laki-laki rambut kuning, lalu perempuan rambut hijau, dan perempuan rambut biru.”
“Kau nggak ingat nama mereka?” Gojo melayangkan tatapan tak percaya.
“Mereka nggak penting sampai harus diingat.” [Name] mengangkat bahu.
Dia benar-benar nggak peduli sampai ke akar-akarnya, ya ..., batin Gojo.
“Begitu. Mereka nggak bakal menganggumu besok.”
[Name] melayangkan tatapan bingung.
“Kenapa?” tanyanya penasaran.
“Kau nggak perlu tahu.”
“Yaah ....”
▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃▃
꒰NOTE꒱
Pengen banget tuh punya temen yang ngelindungi kita kayak di novel dan komik😭
Ann White Flo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Make Him Love Me
Fanfiction"Aku menyukaimu. Saat kau mengingatku, apakah kau mau menerima pernyataanku?" Gadis itu adalah kenalan dari Sang Terkuat. Namun, setelah tujuh belas tahun berpisah. Ingatan akan diri sang gadis sudah terkubur jauh, tenggelam di tempat paling gelap d...