Pelik

3K 96 2
                                    

Sebagai pewaris utama dari perusahaan terbesar sekaligus, tentu saja resepsi pernikahannya pun tak main-main. Digelar secara mewah hingga tiga hari tiga malam. Sejumlah pengusaha-pengusaha di Indonesia bahkan Asia turut hadir. Apalagi, dalam acara resepsi itu juga diumumkan bahwa sang pengantin pria akan menjabat CEO baru perusahaan menggantikan sang ayah.

Tepuk tangan begitu meriah, semua orang tampak bahagia. Kecuali satu orang, sang pengantin pria itu sendiri. Sedari pertama resepsi bahkan akad dia tetap menampilkan raut datar seakan sudah lupa bagaimana caranya tersenyum.

Pengantin perempuan di rias laksana ratu. Bahkan gaun yang hanya dipakai satu kali seumur hidup. Gaun pengantin bernilai ratusan juta itu di rancang khusus untuknya dan dipastikan tidak akan ada yang mengenakan gaun dengan model yang sama sepertinya. (Orang kaya mah bebas ye sis)

Perempuan dengan balutan gaun berhiaskan brukat itu menoleh pada laki-laki di sampingnya yang sudah sah menjadi suaminya itu. Dia berjuta-juta kali sangat senang ketika dirinya bisa mewujudkan menikah dengan laki-laki impiannya. Rasanya tidak ada yang lebih bahagia dari itu. Bahkan ia tak berhenti mengembangkan senyumnya.

Kemudian pandangannya beralih pada lantai dansa yang di penuhi para tamu undangan yang mendayu indah mengikuti alunan musik bersama pasangan masing-masing. Ia menoleh lagi pada suaminya yang masih terlihat acuh itu "Kak Aca, ayo kita dansa juga seperti mereka" Ajaknya disertai senyuman paling manis menurutnya.

Arsa menoleh "Bisakah kamu ajak yang lain saja, aku sedang tidak ingin" Jawabnya dingin.

Ibunya yang duduk disampingnya menegur "Arsa, kok gitu sih. Kamu kan suaminya, emang kamu mau istri kamu dansa dengan laki-laki lain? Gimana sih!" Dengus ibunya. "Udah cepet. Lagian ini itu kan moment kalian berdua" Imbuhnya.

Arsa menghela napas kasar "Okay" Putusnya seraya berdiri. Mau bagaimana lagi, ibunya itu tipe wanita yang tidak bisa dibantah. Pantas saja, selama ini ayahnya menjadi seorang Susis (suami Sien istri).

Lantas Arsa menautkan tangannya pada tangan Evani dan tangan satunya lagi merengkuh pinggangnya. Mereka mulai bergerak mengikuti alunan melodi dan irama.

Evani terus menatap wajah Arsa tak berhenti-berhenti dirinya mengagumi ketampanan suaminya itu. Tapi yang di tatap justru asik memandangi arah lain.

Eva kemudian meraih wajah Arsa, mengarahkannya pada dirinya "Aku disini Arsa, tatap aku" rengeknya.

Arsa mengikuti keinginannya, menatap wajah sang istri. Tapi justru yang ia lihat malah gadis itu. Yang ia lihat saat ini, gadis dengan mata coklat selaras dengan rambutannya itu tengah tersenyum manis seperti biasanya, memperlihatkan deretan gigi putihnya yang di perindah dengan gigi gingsul ciri khasnya. Senyum yang selalu berhasil membuat hatinya menghangat. Tanpa sadar perlahan ia tersenyum. Sampai terasa elusan lembut di pipinya yang membuat dia tersadar dari khayalannya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya dan kini ia dapat melihat bahwa perempuan di depannya saat ini adalah Eva, istrinya. Bukan gadis itu. Sekali lagi dirinya terhempas ke dalam jurang hampa sarat akan kerinduan.

"Arsa, you oke?" Ucap Eva khawatir karena Arsa menggeleng-gelengkan kepalanya terus.

"Ya, aku baik-baik saja. Hanya sedikit pusing. Bisakah kita kembali duduk?" Alibinya.

"Hm, tentu saja" Angguk Eva seraya menautkan tangannya pada gandengan lengan Arsa dan keduanya kembali ke kursi pelaminan.

🥀

Di lain sisi, seorang wanita dengan perut membuncitnya giat mengemas barang-barang miliknya. Kemudian setelah selesai dengan pakaian dan berapa barang lainnya, ia beranjak ke kamar neneknya.

"Nek" Panggilnya dari luar.

Sang nenek kemudian membuka pintu "Ada apa Lina?" Tanyanya.

"Ayo kita berkemas dan beres-beres nek. Besok pagi kita pindah dari sini" Ucapnya.

Tampak kerutan heran di kening neneknya "Kenapa kita pindah? Kenapa tiba-tiba?" Tanyanya bingung.

Ellina mengelus bahu neneknya "Nek, ini bukan apartemen Lina, lagian Ellina tidak enak jika harus menumpang terus disini, sekarang kan Ellina bukan siapa-siapanya Arsa meskipun saat itu dia memberikannya pada Lina. Tapi tetap saja tidak enak, apalagi sekarang dia sudah punya istri, Lina gak mau terjadi salah paham" Ucapnya pelan agar neneknya mengerti.

Nek Yuna mengangguk tersenyum "Baiklah, nenek kemas pakaian nenek dulu ya, baru nanti nenek bantu kamu beres-beres barang yang lain" Ucapnya dibalas anggukan oleh Ellina.

Ellina kembali ke ruang tengah. Ia mulai membereskan beberapa barang-barang miliknya yang ia bawa dari rumah lamanya dulu. Bayangan ketika dulu dia menata barang-barang itu bersama Arsa berputar di otaknya. Bayangkan ketika mereka bercanda di apartemen ini. Bahkan tempat inu menjadi saksi bisa di mana ia dan Arsa melakukan hal itu hingga dia mengandung buah cinta mereka kala itu. Sampai bayangan awal pertengkaran dirinya dan Arsa juga di dalam ruangan ini. Ia mulai menangis tat kala mengingat itu.

Sekarang laki-laki yang dulu sempat membuatnya bahagia kini telah bersanding dengan perempuan lain. Sementara ia hanya mampu meratap dan mengingat memori-memori mereka bersama rasa rindu tanpa suara ataupun sekedar balasan.

Padahal, dahulu mereka sempat merancang masa depan, merancang sebuah pernikahan yang mereka impikan. Namun ternyata, itu hanyalah sebuah angan.

Ellina tersentak saat neneknya menyentuh bahunya. Ia segera menghapus air matanya lantas berbalik dan menampilkan senyum semanis mungkin bahkan memperlihatkan deretan gigi putih dan gingsulnya. Ia tidak mau neneknya ikut sedih juga dan bertambah beban pikirannya karena dirinya. Ia tidak mau kesehatan neneknya semakin menurun. Sekarang, yang Ellina punya hanyalah neneknya, dan bayi dalam kandungannya, tentu saja.

"Sudah selesai semua?" Tanya neneknya.

"Um, belum nek itu tinggal buku-buku Ellina aja yang belum dimasukin" Jawabnya menunjuk tumpukan buku.

"Baiklah biar nenek saja" Sahutnya, Ellina mengangguk.

"Memangnya kita mau pindah ke mana?" Tanya neneknya kemudian.

"Ellina menggunakan tabungan dan gajih Ellina beberapa bulan lalu untuk menyewa rumah kecil di dekat rumah lama dulu, gak papakan nek?" Cicitnya.

"Gak papa dong nak, lebih baik rumah kecil dan sederhana daripada apartemen mewah tapi tidak ada kebahagiaan" Jawab neneknya penuh pengertian. Ellina tersenyum lega.

Ellina memang menggunakan tabungan dan gajihnya beberapa bulan lalu saat masih bekerja di perusahaan kakaknya. Dan sekarang ia harus cuti untuk masa kehamilannya. Dan syukurnya, kakaknya membantu sebagian kebutuhan makan dia dan neneknya. Dia juga memberi Ellina uang bulanan. Katanya itu perintah dari ayahnya. Meskipun awalnya Ellina enggan menerima karena masih kecewa terhadap ayahnya itu. Tapi Ellina juga tak punya pilihan, ia tidak mau bayinya lahir tidak sehat. Selain itu, neneknya juga perlu obat dan pemeriksaan dokter. Jadi mau tidak mau ia menerima bantuan dari ayahnya.

Lelah, tentu saja. Lelah hati dan pikiran. Rasanya tiada lagi tempatnya bersandar selain tuhan. Ellina selalu merenung, kenapa perjalanan hidupnya begitu sulit. Ia di telantarkan ayahnya ketika masih balita. Kemudian ibunya juga pergi entah kemana dan tak pernah kembali. Lalu saat dia merasa bahagia bersama orang yang ia cintai, ia harus terhempas juga dan kembali terluka. Ia tidak tahu hidupnya akan bagaimana jika tidak ada neneknya. Mungkinkah dia sudah berakhir di kamar mandi dengan tangan tersayat?.

Mungkin saja Ellina akan melakukan itu, jika tidak ada rasa sayang seorang ibu terhadap bayi dalam kandungannya atau rasa khawatir terhadap wanita tua yang sudah membesarkannya. Namun jelas, mental Ellina juga tidak bisa dikatakan baik. Dan tentu itu juga bukan hal baik untuk bayinya.


To be continued

Love That Kills (Completed)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang