Resah

3.8K 119 8
                                    

Feby Putri - Dear Diary


Dengan rasa hampa Arsa kembali lagi ke mansionnya tepat tengah malam. Selama dua jam ia tadi habiskan untuk berdiam diri di apartemen bekas tempat tinggal Ellina.

Sebelum masuk sejenak ia menyandarkan punggungnya di pilar rumah dengan memejamkan mata. Sekelebat bayangan tentang kehidupan masa kecilnya juga bagaimana penderitaan bundanya saat itu. Kian membuat rasa benci pada Erika semakin besar. Bahkan ia pernah berpikir untuk membunuh wanita itu.

Hidupnya begitu kelam, semua didikan-didikan ibunya seolah mental tidak masuk sedikit pun. Ia tumbuh menjadi sosok yang arogan dan diselimuti rasa benci yang membutakan mata hatinya.

Dan sejak itu, sejak gadis konyol dengan balutan sederhana, rambut kucir kudanya, bibir peach, serta sorot bola mata coklatnya mampu meruntuhkan perasaannya hingga berantakan. Cinta yang tak pernah ada untuk seorang perempuan, dan hanya bersamanya ia menemukan cinta itu dan seluruhnya habis ia berikan untuknya. Bahkan ia berikrar bahwa dirinya berada di bawah telapak kaki perempuan itu.

Bersamanya ia merasakan perasaan hangat penuh bahagia yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Perasaan ingin melakukan apa pun untuk terus bersamanya. Namun dia juga yang kembali menghancurkannya, menghancurkan harapan yang ia pupuk karena sebuah kenyataan tentang darah  pembunuh yang mengalir di tubuh gadis itu.

Lalu sekarang gadis itu kembali dengan makhluk kecil bersamanya. Makhluk kecil yang kembali akan membuat dirinya bimbang.

Ia kembali menegakkan tubuhnya dan memasuki rumah. Sekilas ujung matanya melirik seseorang yang tertidur di sofa.

Di sana Eva tertidur lelap dengan TV menyala menonton dirinya tertidur. Sepertinya dia menunggunya pulang. Arsa melirik jam tangannya sudah hampir jam satu. Entah sudah berapa lama gadis ini tidur di sana.

Perlahan Arsa menepatkan tangannya di bawah leher Eva dan menekuk lututnya membawa dia ke dalam gendongannya. Arsa membawa Eva ke kamar mereka dan menidurkannya secara perlahan juga.

Arsa mendudukkan dirinya di pinggiran ranjang, sejenak ia menatap wajah terlelap gadis yang sudah seperti adiknya sendiri sembari menyampirkan anak-anak rambut yang menghalangi wajahnya. Bagi Arsa Eva adalah gadis baik yang penuh dengan kemanjaan. Tentu Arsa juga kenal ia dengan baik. Bahkan bisa dikatakan mereka tumbuh bersama. Namun tidak pernah sedikitpun terlintas di benaknya untuk menjadikan Evani seorang istri untuknya. Ia memang menyayangi Eva sangat menyayangi bahkan, tapi tidak untuk mencintai.

Arsa juga sempat berpikir bahwa apa yang dilakukannya begitu jahat. Bahkan ia melibatkan Eva hanya karena dendamnya kepada keluarga Erika.

Arsa kemudian bangkit menuju jendela besar di kamarnya, kemudian menghubungi seseorang.

"Tolong bantu saya untuk mencari keberadaan Ellina Hendrawan Pratama, cari tahu termasuk dari orang-orang terdekatnya, dan berikan informasi secepatnya" Perintahnya pada seseorang di sebrang telepon.

🥀

Seorang wanita hamil terduduk di pojokan dinding rumah sakit dengan ratapan pilu. Tubuhnya sampai menggigil karena menangis.

Tak pernah terbayangkan sebelumnya ia akan mengalami semua hal itu. Tiada kesedihan yang berhenti menghampirinya. Bahkan tak ada jeda untuk bahagia. Bahkan ketika dulu ia mendapatkan sedikit kebahagiaan pun kembali terenggut lagi.

Ia tak pernah meminta lebih, ia hanya orang-orang yang menyayanginya tidak meninggalkannya. Tapi sekarang, setelah ayahnya, kemudian ibunya, lalu cintanya, sekarang pun neneknya pergi meninggalkannya, pergi untuk selamanya. Dimana ia tidak bisa mencari atau menemukannya lagi. Karena mereka terpisah dengan jarak yang sangat jauh.

Ellina begitu shock dan terpukul saat dokter mengatakan neneknya sudah tidak tertolong. Rasanya sia-sia ia berusaha membawa neneknya ke rumah sakit yang lebih canggih ini jika neneknya tetap tidak dapat di selamatkan. Bukan Ellina menyalahi takdir, ia hanya masih sulit menerimanya. Selama ini hanya neneknya yang selalu menguatkannya, namun sekarang neneknya pun sudah pergi.

Di rumah sakit ia hanya menunggu sendiri. Tidak ada keluarga lain. Setahunya neneknya sudah tidak punya sanak saudara. Neneknya juga hanya mempunyai satu anak dan satu cucu yaitu dirinya. Ellina juga tidak mungkin menghubungi Erika, karena dia juga tidak tahu dimana keberadaan ibunya itu.

Namun tanpa dirinya ketahui seseorang memperhatikannya dari kejauhan. Setelah beberapa jam lalu orang suruhannya memberikan informasi bahwa Ellina berada di rumah sakit lain
Lantas ia segera menuju rumah sakit tersebut pada pukul dini hari.

Ingin sekali ia berlari ke sana dan memeluknya, meredam tangisnya, juga menenangkan kepiluannya. Namun ia tak akan melakukan hal itu, melakukannya hal yang mungkin belum bisa wanita itu terima kehadirannya. Ia menemaninya dari kejauhan juga mungkin sudah cukup. Ia cukup memastikan dia baik-baik saja.

🥀


Esok harinya, di acara pemakaman baru ayah dan Andra kakak satu ayahnya datang. Entah mereka tahu dari mana tentang kabar duka itu, Ellina tidak mau   mempedulikannya apalagi mempertanyakan. Ia masih menangis di atas nisan neneknya.

Dari kejauhan, seseorang itu kembali memperhatikannya dengan balutan celana dan kemeja hitam juga kacamata hitam.

Bahkan saat orang-orang mulai beranjak dan tinggal'lah Ellina sendiri di sana, dia masih memperhatikannya. Kemudian dengan perlahan ia menghampiri Ellina dan ikut menjongkokkan dirinya di samping dia. Lalu menadahkan kedua tangannya untuk memanjatkan doa untuk neneknya Ellina.

Ellina menoleh saat seseorang jongkok di sampingnya lalu sedikit kemudian mengalihkan kembali pandangannya.

"Untuk apa kamu kesini?" Ketus Ellina.

"Tidak ada yang melarang seseorang untuk takziah" Jawabnya.

"Aku ingin sendiri, jadi silahkan kamu pergi dari sini" Usir Ellina langsung.

Terdengar helaan nafas dari dia "Kamu masih bisa berziarah kapan pun, tapi sekarang kamu juga butuh istirahat"

"Cih, apa pedulimu!" Ellina berdecih.

"Aku peduli, aku peduli pada kalian" Ucapnya. "Terserah jika kamu memang tidak peduli dengan badanmu, tapi setidaknya cobalah peduli dengan bayi kita" Ucapnya lagi.

"Stop!" Ellina menoleh cepat dengan raut amarah, lantas ia berdiri "Jangan pernah bilang ini bayimu juga" Ellina menunjuk perutnya "Ini adalah bayiku, hanya bayiku, bukan bayimu!" Bentaknya menunjuk muka seseorang di hadapannya.

"Ellina tenanglah, tidak baik jika kamu marah-marah seperti ini" Ucapnya berusaha menenangkan.

"Berhenti!" Teriak Ellina "Kamu tidak tahu apa-apa, aku sudah mengirimi pergi kan tadi, jadi sekarang sebaiknya kamu pergi dari sini!" Bentaknya.

"Ellina jangan seperti in–"

"PERGI" Potongnya cepat dengan sedikit mengeraskan suaranya.

"Ell–"

"Aku bilang pergi! Per–" Ucapannya belum selesai karena tubuh Ellina lunglai jatuh. Beruntung seseorang di hadapannya dengan sigap menangkap tubuh Ellina. Lalu membawanya ke dalam gendongannya.

Dan dengan cepat juga ia melajukan mobilnya menuju rumah sakit dengan panik dan penuh rasa cemas. Bahkan kini ia sudah berkeringat dingin. Jika salah terjadi sesuatu dengan Ellina dan bayinya maka terkutuklah dia yang tidak bisa bahkan hanya untuk menjaganya.

To be continued

Love That Kills (Completed)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang