Makna Ucapan Perpisahan

5.3K 98 6
                                    

Di sebuah bangunan tak terawat dengan cat-cat yang sudah mengelupas. Rembesan bekas air hujan membuat dinding yang mungkin dulunya berwarna putih atau crem kini berubah menjadi noda noda hitam kelam. Air dari atap juga terus menetes lambat menimbulkan bunyi pcak pcak pcak dengan suasana sejuk yang tak mengenakan.

Dan disitulah Arsa berada, ia berlutut di lantai dengan tangan dan kaki diikat. Wajah tampannya sudah seolah tak berbentuk karena biru memar dan darah kering hampir di seluruh wajahnya. Bahkan darah di pelipisnya mengering menyatu dengan rambut berantakannya.

Seorang laki-laki paruh baya duduk di kursi kayu sembari menghisap cerutunya. Di belakangnya berdiri beberapa orang berbaju hitam dengan wajah sangar dan badan besar.

Nafas Arsa sedikit tersenggal-senggal, ia merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Bahkan bekas pukulan itu masih membuat berdengung telinganya.

Pria paruh baya itu beranjak dari duduknya, ia mendekat pada Arsa kemudian berjongkok. Arsa yang awalnya menunduk kini mendonggak menatap pria itu. Tatapannya berubah berang dengan sorot penuh dendam. Ia berdiri dan berjalan memutari Arsa lalu berhenti tepat di belakang Arsa.

Ia meronggoh sebuah pistol dari balik jas mewahnya. Ia menempelkan moncong pistol itu pada punggung Arsa. Kemudian ia menunduk dan berdesis di samping telinga Arsa. "Kau membak putraku tepat disini" Ia menekan moncong pistol itu. "Peluru itu hampir menembus tulangnya". Ia menegakkan tubuhnya lagi kemudian kembali berjongkok di depan Arsa. "Lalu tidak cukup sampai disitu, kau menembaknya lagi disini" Ia menekan jari telunjuknya di dada kiri Arsa.

Ramon beranjak berdiri lalu kembali duduk di kursi kayu tadi. Ia meronggoh sapu tangan dari balik jas mahalnya kemudian me-lap pistolnya dengan sapu tangan itu "Ku dengar, kau juga putra tunggal Rain, satu-satunya pewaris keluarga Brawijaya, putra kesayangan nyonya Nara" Ia bicara dengan irama pelan mengalun lantas terkekeh di ujung kalimatnya "Menurutmu bagaimana perasaan ayah dan ibumu jika tahu putra semata wayangnya mati di tanganku?" Menaikkan matanya menatap tajam pada Arsa yang juga menatapnya tanpa gentar. "Tentunya mereka harus merasakan apa yang aku rasakan bukan? kehilangan anak yang sangat mereka cintai. DAN KAU MERASAKAN APA YANG REGAN RASAKAN!" Ramon berteriak menggeram dengan urat-urat membentang, wajahnya memerah marah.

Arsa justru tersenyum tipis "Putra bejadmu itu ingin memperkosa kekasihku bagaimana aku tidak marah, dan aku tentu tahu dia tidak akan mati hanya dengan luka tembak itu karena dia baik-baik saja setelah dibawa ke rumah sakit. Seharusnya kau periksa juga orang-orangmu, mungkin diantara mereka ada yang berkhianat?" Menaikkan alisnya Arsa semakin melebarkan senyum sinisnya.

"OMONG KOSONG! Dengan mengatakan itu tidak akan merubah keputusanku untuk mengasihanimu dan, orang-orang ku sangat setia" Bentaknya.

Arsa kembali terkekeh "Aku tidak meminta kau merubah keputusanmu, aku hanya memberitahu".

Kini giliran Ramon yang tersenyum "Terima kasih sudah memberitahu ku, bagaimana kalau ku beri hadiah?" Ramon berdiri dari duduknya lalu mengarahkan pistol itu pada Arsa yang sama sekali tidak mengalihkan pandangannya seakan ia tidak takut dan sudah siap jika peluru itu menembus salah satu bagian tubuhnya. Dan...

Dor

Suara tembakan menggema di seluruh penjuru ruangan lembab bangunan tua itu. Arsa masih mempertahankan senyumannya menatap lurus pada Ramon sampai ia terjengkang jatuh ke belakang dengan darah yang mulai mengucur dari dada kirinya.

Toni dan Gilang memejamkan matanya erat saat mendengar suara tembakan itu lalu membelalak saat melihat tubuh Arsa jatuh terjengkang. Mereka tak berdaya untuk menolong Arsa karena tubuh mereka juga diikat dan mulut di sumpal kain ikat.

Love That Kills (Completed)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang