Darah Muda

153 8 2
                                    

"Rachel, ini Abang. Buka pintunya. Kamu kenapa?"
Ini sudah kesekian kali Alvin mengetuk pintu kamar adiknya.
Tapi Rachel tidak juga membukakan pintu kamarnya.

"Rachel, sekali lagi Abang bilang buka pintunya buka! Atau Abang dobrak pintu kamar kamu ini!" Habis sudah kesabaran Alvin, kesal dan khawatir menjadi satu saat ini.

"Satu, dua... Ti...!

Braaak.

Pintu di buka paksa oleh Alvin, tidak ada pilihan lagi jika adiknya bersikeras untuk tidak mau membukanya. Masuk ke dalam, hal yang belum pernah Alvin lihat sebelumnya. Kamar adiknya seberantakan ini, sangat beratkan. Semua berserakan di lantai, dan Alvin juga melihat Rachel tengah memeluk lututnya sambil menangis.

"Chel." Alvin ikut duduk di samping Rachel, binggung juga apa yang akan Alvin tanyakan mengingat sang adik sangat kacau sekali saat ini.

"Bang, kenapa bukan aku yang di pilih untuk mengikuti olimpiade di Thailand nanti. Kurang pintar apa aku bang?" Isaknya tersedu-sedu.

Alvin mulai mengerti apa yang tengah terjadi pada sang adik, tak ingin banyak bicara yang nantinya akan menimbulkan ketidaknyamanan Rachael, Alvin lebih memilih menjadi pendengar yang baik saja.

"Kenapa anak si tukang goreng itu yang di pilih sekolah untuk lomba ke Thailand. Harusnya itu aku bang, aku pintar, aku juga menguasai bahasa asing."

"Siapa yang kamu maksud Chel" Alvin tidak mengerti dengan orang yang di maksud Rachel, tapi Alvin kurang suka dengan ucapan Rachel barusan. Seakan dia tengah merendahkan pekerjaan seseorang. Di tegur pun rasanya kurang tepat jika Alvin lakukan sekarang.

"Adik pungut Abang, siapa lagi!" Teriak Rachel kesal di sela Isak tangisnya.

"Vina?" Rachel tidak menjawab, melihat ekspresi ketidaksukaannya sudah dapat menjawab pertanyaan Alvin barusan.

"Chel, dalam hidup ini. Enggak selamanya keberuntungan berpihak pada kita. Sekalipun kita punya segalanya. Mungkin sekarang kamu merasa lebih layak terpilih untuk mewakili sekolahmu dalam kompetisi ini kamu merasa lebih pintar dan lebih unggul, tapi terkadang keberuntungan memang tidak selalu berpihak pada kita Chel, sekeras apapun kita berusaha kalau memang takdirnya bukan untuk kita tetap saja enggak bisa."

Alvin mengelus punggung adiknya dengan sayang, Alvin mengerti, fase remaja seperti Rachel ini memang sulit untuk mengontrol emosi. Kata orang tua dahulu, darah muda. Jadi, sangat wajar jika Alvin mendapati adiknya meledak-ledak seperti sekarang ini.

"Masih ada kesempatan berikutnya Chel, mungkin bukan yang sekarang tapi nanti dan jauh lebih baik lagi."

Alvin mencoba memberi pengertian, posisi Rachel saat ini persis sekali dengan Alvin sewaktu SMA dulu. Setelah di bujuk dan diberi pengertian oleh papanya Alvin mengerti juga dan belajar untuk berlapang dada menerimanya.

"Kamu pasti capek marah-marah, sekarang istirahat dulu ya. Nanti biar bibi yang beresin kamar kamu." Bujuk Alvin.

"Istirahat di kamar abang."

"Oke."

****

Kelas begitu hening, tidak ada suara berisik di dalamnya. Semua siswa-siswi tampak serius membaca soal ujian mereka. Rachel yang tempat duduknya paling belakang tampak tidak fokus dengan soal ujiannya, berulang kali ia menghapus jawaban ujiannya.
Waktu tersisa kurang dari lima belas menit lagi dengan tergesa-gesa Rachel menyelesaikan ujiannya.

"Ujian tadi bisa jawab berapa soal lo Jess?" Maria memutar tubuhnya ke arah Jessy yang sibuk membuka buku pelajarannya, memastikan apa yang ia jawab tadi ketika ujian memang benar.

"Dua soal yang enggak bisa gue jawab, jadi di jawab asal aja sih gue tadi." Maria menutup buku pelajarannya.

" Gue banyak yang nggak ke jawab sama gue, lupa belajar gue keasyikan drakoran."

"Elo sih, udah tau mau ujian masih aja nonton."

"Kok bisa ya Mar, Rachel enggak terpilih mewakili sekolah kita olimpiade ke Thailand, malah si Vina yang jadi perwakilan." Ucap heran Jessy memperhatikan Rachel yang tengah duduk tak jauh dari mereka.

"Gue juga kaget, pas kepala sekolah ngumumin kemarin. Perasaan si Vina bisa-bisa aja. gue nggak lihat dia aktif pas belajar."

Kedua teman Rachel juga heran dengan keputusan sekolah, tidak aktif di kelas bukan berarti Vina tidak pintar, hanya saja dia memang kurang percaya diri jika menonjolkan kemampuan di depan teman-temannya yang lain, dia lebih banyak diam, tapi tetap mengerjakan tugas yang di berikan guru dengan nilai sempurna.

"Huust udah ah, ntar Rachel denger." Cegah Maria menghentikan obrolan mereka berdua.

Rachel di mejanya tampak tak bersemangat, tidak seperti biasa ia dan kedua temannya akan heboh membahas soal ujian apa saja yang tidak terjawab. Tapi, kali ini berbeda sekali. Maria dan Jessy cukup paham dengan keadaan Rachel jadi mereka lebih memilih memberi waktu sendiri dulu untuk temannya itu.

***

"Mau latihan soal lagi Vin?"

Abian teman satu sekolah beda kelas dengan Vina menduduki kursi kosong sebelah Vina, cowok berkacamata, berlesung pipi itu tengah membolak-balikan contoh soal Vina. Bian salah satu siswa yang akan ikut olimpiade di Thailand, di sekolahnya terpilih dua orang siswa dan siswi untuk bertanding kecerdasan dengan siswa-siswi dari sekolah  Thailand.

"Iya, Bi. Gue takut entar nggak bisa jawab soal-soal yang keluar nanti." Vina menatap frustasi lembar soal, dari jam istirahat di sambung setelah pulang sekolah ini, dia masih bergelut dengan contoh soal dan kisi-kisi.

"Jangan terlalu di paksain Vin, belajarnya santai aja. Itu, kening kamu kerutan jadinya. Hahahahha." Tawa lepas cowok duplikat Afgan ini menjadi pusat perhatian para penghuni perpustakaan.

"Ketawa lo terniat banget, ingat hai Afgan kw ini perpus bukan konser, kecilin suara Lo."

"Iya,maaf. Ada soal yang enggak bisa lo jawab? Diskusiin bareng gue, juara kelas ini."
Bian menepuk-nepuk dadanya bangga.

"Heleh, lo juara karena yang juara sebelumnya udah pindah.
Gue bisa ngerjainnya sendiri, sana pergi."

Vina mengibas tangannya pada Bian, meminta Afgan kw itu meninggalkannya sendirian.

"Lo usir gue, awas loh ntar lo di perkaos sama siluman rayap di perpustakaan ini, ih serem."

"Bodo, angkat kaki lo ranting pohon.!"

"Hahahahah, bye sayangku."

"Geli, bangsat.!"

Hampir dua jam setelah jam pulang sekolah, Vina masih setia di perpustakaan. Untungnya, perpustakaan buka hingga sore hari. Sudah ada dua mata pelajaran yang di ikut sertakan dalam  olimpiade yang di bahas dan pelajari oleh Vina, sampai Vina tidak menyadari ada cewek berseragam sama dengannya tengah membawa beberapa buku untuk dia baca di meja Vina.

" Anjing, kecebong saus Padang." Kaget Vina ketika mendengar dentuman cukup keras dari buku yang dihempas kasar di atas meja.

"Lo jadi cewek nggak ada lembut-lembutnya ya. Lo enggak tahu gue duduk di sini. Dasar orang kaya enggak punya adab!"

Vina membereskan semua soal dan alat tulisnya dari atas meja, dia tidak sudi jika semeja dengan cewek enggak punya adab ini. "Lo yang enggak tahu, tempat yang Lo duduki itu tempat gue."

Tak mau kalah, gadis itu pun tak kalah galak dan garangnya dengan Vina. "Sejak kapan perpustakaan punya meja khusus buat lo ha? Elo yang punya perpus dan sekolah ini? Enggak kan, jadi enggak usah berlagak menguasai macam orang utan aja loh, euyy.

"Sialan."

Masih bisa Vina dengar umpatan dari rivalnya di kelas itu, cewek menyebalkan dunia akhirat. Siapa lagi kalau bukan Rachel, cewek yang memiliki segalanya yang tidak di miliki Vina.

Hai Brother, I feel fineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang