FIX MENJADA

211 12 23
                                    

Rachel membuka mata setelah entah berapa lama ia tidak sadarkan diri dan kini berada di ruang rawat inap. Tangannya di pasangkan infus, mata terasa perih karena sebelumnya lama menangis. Sekujur tubuh sakit dan susah untuk di gerakkan, sungguh luar biasa stamina suaminya itu.

"Sus, saya boleh pulang sekarang?" Rachel menatap jam yang menunjukkan pukul sembilan pagi, kebetulan sekali seorang perawat menghampirinya.

"Maaf ya kak, sebelum dokter yang datang memeriksa kakak belum di perbolehkan untuk pulang." Kata si suster yang sudah selesai menganti infus Rachel yang telah habis.

Rachel pasrah dan kembali menutup mata. Menyadari jika ada bunyi pintu ruang inapnya di buka dan menyakini siapa yang masuk Rachel dengan bersusah-payah membalikkan tubuhnya membelakangi orang tersebut.

"Aku bawakan baju ganti, nanti setelah di perbolehkan pulang aku akan antar kamu pulang ke rumah orang tuamu Chel, dan aku udah kasih tahu mereka kami disini." Hanya itu, tidak ada kata maaf dari apa yang telah ia lakukan pada Rachel sehingga istrinya berada di  ruangan ini.

Rachel tidak berharap lebih karena ini semua terjadi karena ulahnya juga. Anggap saja ini bentuk memenuhi kewajibannya yang terakhir sebagai istri Abian.

Waktu berjalan begitu cepat dan tidak terasa hari ini adalah sidang pertama perceraian mereka setelah sebulan lebih mempersiapkan berkas dan segala macamnya. Rachel maupun Abian memilih untuk tidak hadir di persidangan agar segera di putuskan oleh hakim permohonannya perceraian yang di layangkan oleh Rachel.

"Lo pasti bisa dapatin yang lebih dari ini Chel." Celine dan saudara kembarnya memberi semangat.

"Semoga." Jawab Rachel singkat.

Semoga tidak ada penyesalan dalam hatinya, semoga keputusan ini yang terbaik untuk mereka berdua.

***

Rachel merasakan kepala pusing tanpa sebab, tapi tetap berusaha baik-baik saja di hadapan kedua sahabatnya. Saat ini mereka tengah berada di pusat perbelanjaan di mana Rachel akan membeli beberapa alat masak dan juga kebutuhan dapurnya. Posisinya sekarang ini berada di salah satu stand yang menjual perkakas memasak dan di sampingnya ada penjual berbagai macam kebutuhan atau bahan baku untuk kedai-kedai kopi.

Entah rencana apa yang Tuhan rencanakan untuknya, saat Rachel tumbang jatuh ke lantai. Malvin, barista di kedai kopi Abian melihat kejadian Rachel jatuh pingsan. Baik Celine maupun Eveline bahkan Malvin tampak panik mencoba meminta bantuan pada orang-orang di sekitar.

"Ya ampun Rachel kamu kenapa?!" Pekik Celine panik bukan main.

"Kenapa mbak?" Tanya Malvin yang sudah berdiri di stand tempat Rachel jatuh pingsan.

"Nggak tahu, tiba-tiba aja jatuh pingsan." jawab Eveline.

Malvin dengan sigap membawa tubuh tak sadarkan diri Rachel ke dalam mobilnya. Mengantarkan istri dari bosnya itu ke rumah sakit terdekat.

Di coffee shopnya Abian mengantikan Malvin di meja kasir, karyawannya itu ia utus untuk membeli bahan baku minuman yang sudah habis. Keseharian Abian setelah sebulan lebih menduda ia habiskan dengan bekerja dan kuliah. Meski secara hukum ia belum resmi menyandang status duda yang jelas ia sudah kembali hidup seperti pria lajang.

"Om, hp om bunyi terus tuh dari tadi." Celetuk bocah berseragam SMP melirik ke ponsel Abian di meja kasir.

"Biasa, sales kopi mungkin." Jawabannya acuh, Abian tidak mengangkat bahkan melirik pada ponselnya.

"Jadi berapa semuanya om?" Bocah ganteng dengan rambut tebal itu membuka dompetnya.

"Kali ini lebih mahal, 85rb semuanya."

Hai Brother, I feel fineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang