Menikah muda?

351 15 2
                                    


"Maaf, apa kalian ini pasangan suami istri yang menikah muda? Saya lihat kalian masih muda untuk menjadi orang tua." Ucap dokter kandungan yang telah selesai memeriksa kandungan Rachel.

"Iya, dok. Kami menikah muda, setelah lulus sekolah saya menikahi istri saya. Alhamdulillah saya memiliki usaha turun temurun dari keluarga." Abian dengan lancar tanpa gugup  menjelaskan apa yang menjadi pertanyaan sang dokter kandungan.

"Wah, kalian hebat. Lebih baik begitu daripada MBA. Saya banyak menerima pasien hamil tapi mereka belum memiliki hubungan yang sah, bahkan ada yang meminta bantuan saya untuk mengugurkan kandungannya." Bertukar tatap, Abian tersenyum santai menanggapi ucapan dokter kandungan yang menurutnya terlalu banyak bicara.

"Iya, dok. Jadi bagaimana keadaan janin di perut istri saya? Apa ibu dan bayinya sehat?" Bak pemain film handal dalam memerankan suami siaga, Abian berhasil meyakinkan si dokter bahwa mereka berdua memang pasutri muda.

"Gue mau nebus resep obat lo dulu, tunggu di mobil aja." Tanpa mengiyakan, Rachel menerima kunci mobil Abian dan menunggunya di sana.

Antrian di apotik tempat Abian menebus obat Rachel cukup ramai, dia harus menunggu beberapa orang yang lebih dulu.

"Mbak, tebus obat untuk ibu hamil ini ya." Abian sengaja mengeraskan suaranya kala menyadari seseorang yang juga membeli obat di sampingnya.

"Hahahaha, belum apa-apa udah kena karmanya ya? Mampus!" Abian menerima obat lalu pergi setelah mengatakan kata-kata kasar itu pada Devan yang kebetulan juga tengah membeli obat.

***

"Rachel tunggu, jangan menghindari aku terus." Devan mencegah tangan Rachel yang akan menutup pintu apartemennya.

"Apa? Cuma mau nanya?" Seolah tahu apa yang ingin Devan sampaikan padanya, Rachel berusaha menguasai diri untuk tidak menangis apalagi mengemis dengan laki-laki di hadapannya ini.

"Kamu beneran hamil?" Devan melirik pada perut datar Rachel.

"Kalau iya, kenapa? Mau tanggung jawab atau mau ngajak aku buat gugurin anak ini? Di skakmat dengan pertanyaan ultimatum itu membuat Devan kehilangan kata-kata.

"Aku,..."

"Sudahlah, gue tahu  lo enggak akan mau tanggung jawab. Dari awal gue udah bilang juga kan, kalau terjadi apa-apa sama gue selepas kejadian malam itu. Bukan salah lo, jadi biar gue urus masalah gue sendiri. Dan kita, udah selesai Devan."

"Rachel, aku..."

Pintu di tutup secara kasar oleh Rachel, meninggalkan Devan yang masih binggung dengan apa yang terjadi dengan mereka berdua.

***

"Ma, pa. Devan mau bicara bisa luangin waktu mama sama papa nanti malam di rumah?"

Devan mengetik pesan untuk dia kirim ke orang tuanya, enggan menelpon kedua orang tua yang super sibuk itu, Devan memilih mengirim pesan saja.

Pikiran Devan tengah kacau saat ini, bagaimana tidak. Bodohnya dia ketika menuruti hasrat sialan itu pada Rachel yang tengah mabuk. Devan menyadari jika dia termasuk laki-laki yang memiliki gairah seks yang cukup besar, jika bukan karena pertahanan dirinya untuk menahan gairah. Mungkin sudah banyak gadis-gadis yang menjadi teman tidurnya. Dan, kenapa harus Rachel korban dari kegilaan gairahnya, sialan!

"Dev hangout yuk, semenjak kita kuliah jarang banget nongkrong bareng."

Devan menerima pesan di grup WhatsApp para sahabatnya, haruskan dia bersenang-senang dengan teman-temanya ketika saat ini masa depan tengah di ambang kehancuran? Ah, dia butuh teman bicara saat ini.

Hai Brother, I feel fineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang