Bab 1. Sekar Asmarandana

1.5K 105 84
                                    

            Tembang Asmarandana mengalun, dengan irama laras slendro pathet sanga. Bibir kemerahan milik gadis ber-dress batik, bergerak-gerak mendendang lagu. Sekar macapat Asmarandana yang ia nyanyikan, sesuai dengan corak batiknya. Motif truntum berbentuk bunga-bunga kecil, melambangkan berseminya kembali perasaan cinta. Sebuah mahakarya dari Kanjeng Ratu Kencono, permaisuri dari Sunan Pakubuwono III.

            Rambut hitamnya dikuncir kuda dengan jepit pita dari kayu berwarna coklat. Flat shoes di kaki menambah kesan elegan nan anggun. Sebuah tas ransel kecil kini ia pangku, sementara satu tangannya sibuk berselancar di atas ponsel berlayar 6,5 inch miliknya.

            “Seriusan, gue ngantuk banget. Semalem kagak tidur, ngerjain ini, demi ketemu sama Mas Arun.”

            Gadis berkuncir tadi mendongakkan kepala, ia melihat ke arah tiga orang yang terlihat berbincang, keluar dari ruangan dimana orang yang ditunggunya berada. Salah satu dari tiga orang tadi manatap sang gadis. “Hei, boleh gabung, kan?”

            “Boleh, silakan, Kak,” jawab Arimbi. Ucapan terima kasih dan senyum ramah diulas orang yang baru saja meminta ijin pada Arimbi. Bangku berukuran dua kali satu meter itu memang biasanya digunakan bersama-sama. Modelnya bak kursi kafe dan angkringan yang menyatu dengan meja. Para mahasiswa sering menggunakannya sebagai tempat mengerjakan tugas, nongkrong, hingga makan, karena kadang kantin penuh, sehingga mereka membeli makanan secara take away dan memakannya di bangku yang terkenal dengan sebutan ‘bangku coklat’ tersebut.

            “Aku pusing, tapi aku semangat. Untung Mas Arun ganteng, jadi mau revisi berapa kalipun aku tetep semangat.”

            Arimbi melirik wanita di depannya. Ia menahan senyum. Wanita berkulit putih itu pasti tak tahu jika dirinya adalah adik kandung dari laki-laki yang tengah ia bicarakan.

           “Dasar sarap lu, Dew. Pusing kok seneng. Modus aja lu sama Mas Arun.” Pemuda yang duduk di samping Arimbi berkomentar, membuat wanita yang disapa ‘Dew’ tadi terkikik.

            Arimbi sedikit menggeser tubuhnya. Suara tembang Asrmarandana yang diputar dipengeras suara yang menempel di sudut-sudut tiang, masih mengalun.

            “Eh, itu suara gamelan kayak di film yang viral kemarin. Serem banget,” celetuk pemuda di samping Arimbi.

            Arimbi kembali berkonsentrasi dengan ponselnya, membaca serat yang baru ia scan dari perpus keraton kemarin. Huruf meliuk-liuk di sana, membuat otak Arimbi sedikit diperas, diputar, agar dapat membaca tulisan beraksara dan berbahasa jawa kuna tersebut. Ia sampai tak sadar bibirnya kembali bersenandung.

            “Serem apanya? Itu tembang Asmarandana. Tembang cinta, kasmaran. Mana ada serem. Kalau Pocung, ya, bisa jadi serem.” Pemuda lain yang duduk berseberangan dengan orang di samping Arimbi angkat bicara. Suara beratnya, seperti tak asing bagi Arimbi. Gadis itu menoleh dan ia baru sadar ternyata ia mengenal orang itu.

            “Eh, kamu ikutan nyanyi lagu itu ya? Serem banget. Kok bisa kamu tahu?” Wanita di seberang meja bertanya pada Arimbi dengan wajah penasaran. Arimbi segera mengalihkan pandang, menatap sang lawan bicara. “Iya, Kak. Itu nggak serem kok. Itu isinya petuah. Ada banyak variasi liriknya, kalau yang barusan tadi tentang petuah rumah tangga.”

            “Seriusan? Bukannya lagu begitu manggil hantu, ya?”

            Pemuda berpostur tinggi dengan bahu lebar dan badan berotot itu tiba-tiba tertawa melihat kekonyolan sang kawan. “Pandu, Pandu, malu sama namamu. Namamu aja Jawa banget. Lahir di Jawa, orang tua asli Jawa semua. Tapi, budayamu sendiri kamu nggak kenal. Ngomong gue elu, sok kebawa pergaulan khas perkotaan, tapi krisis identitas budaya.”

SMARA CARITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang