Bab 15. Wayang

236 34 12
                                    

Terik matahari mulai meredup, meski begitu sinarnya cukup membuat peluh bercucuran. Tiga gadis dengan name tag berwarna merah, duduk di depan teras aula menunggu sosok yang berjanji akan datang siang itu.

"Kamu beneran mau jadi wayang?" tanya Gauri setelah membaca-baca kertas yang tadi ia pinjam dari Arimbi.

Gadis bongsor itu mengangguk. "Aku udah tanya papa sama mama dan mereka kasih ijin kok."

Obrolan itu seketika terhenti saat semua fokus ketiganya teralih pada gelak tawa dari  gang kecil samping aula. Rombongan anak-anak dengan seragam yang tidak rapi muncul. Beberapa membuang puntung rokok mereka ke tempat sampah.

"Kayaknya si Nurdin sama si Runi nggak akan tahu markas baru kita. Nggak sia-sia ngerekrut anak penjaga sekolah jadi member kita. Dia tahu betul seluk beluk sekolah ini. Tahu jalan-jalan buat escape."

Obrolan itu jelas membuat tiga anak baru yang mendengarnya menoleh ke sumber suara. Terlebih ketika mereka mendengar nama guru mereka disebut tanpa embel-embel 'Pak' atau 'Bu'.

Sadar jika diperhatikan, rombongan siswa urakan tadi menghardik adik kelas yang tengah menatap mereka.

"Ngapain liat-liat? Bosen hidup?" sentak salah satunya.

Gauri seketika menunduk takut sementara Gantari dan Arimbi acuh tak acuh.

"Anak baru, Bos. Nggak akan ada yang berani lapor ke guru," tukas yang lain.

Setelah rombongan itu berlalu, dua sosok yang ditunggu muncul. Seperti dua tiang bendera berjalan bersama, Svarga dan Bima menghampiri tiga adik kelasnya yang sudah duduk manis di teras aula.

"Maaf, masjid rame jadi harus gantian dulu tadi," ucap Bima.

"Nggak apa-apa, Mas. Kita mau bahas apa sih?"

"Jadwal latihan, kamu bisanya hari apa? Nanti yang lain menyesuaikan. Kita paling nggak butuh dua minggu buat proses reading-nya sebelum nanti mulai berkenalan sama panggung dan mereka-mereka pengarah gerak." Bima mulai menjelaskan.

"Kalian harus punya chemistry dulu," celetuk Svarga.

Bima menyetujui hal itu. Arimbi pun mengangguk-angguk.

"Kenapa harus wayang sih, Mas? Kenapa nggak pentas yang lain? Kan kayak kuno gitu," tanya Gantari.

"Justru itu, kita harus memperkenalkan anak-anak milenial pada kesenian budaya lokal kita. Kalau biasanya wayang identik dengan kuno, tua, dan hanya bisa dinikmati orang-orang jaman dulu. Aku pengen membuka mata anak-anak jaman sekarang dengan menunjukkan, cerita wayang ini bukan hanya sekedar tontonan tetapi juga tuntunan."

Mata Arimbi terlihat berbinar penuh kagum. "Keren banget Mas, kayaknya Mas expert di bidang ini ya?"

"Nggak juga, cuma kebetulan keluargaku semua pecinta budaya." Bima menyugar rambutnya yang mulai panjang.

"Eh iya, kamu bisa nembang, kan?" Bima kembali bersuara.

"Dikit, Mas. Kenapa emangnya?"

Anak laki-laki dengan tinggi seratus delapan puluh lima sentimeter itu melipat kakinya, membenahi posisi duduk sebelum mengulurkan ponsel pada Arimbi. "Coba kamu lihat ini. Ini gambaran pementasan nanti, kurang lebihnya akan seperti ini."

Arimbi dan Gantari mengamati dengan seksama. Pelakon di sana begitu gemulai menari, merdu bernyanyi, dan piawai membawakan lakonnya dengan penuh perasaan.

"Sama seperti dalam pertunjukan seni tari, kita sebagai pementas wayang, juga harus mempunyai tiga W. Wiraga, wirama, dan wirasa."

Gauri yang sedari tadi duduk diam di seberang Svarga kini bersuara. "Apaan tuh?"

SMARA CARITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang