Butik bergaya joglo yang senada dengan rumah berpendopo luas di sampingnya, menjadi tempat tujuan Arimbi dan sang ibu, Pratiwi. Keduanya mendatangi butik yang terkenal dengan kain batik produksi sendirinya, Madukara. Pemiliknya adalah seorang ibu beranak tiga bernama Ratu Bilqis, yang sudah lama kenal dengan Pratiwi.
Arimbi mengintil ibunya, matanya dimanjakan dengan sajian gaun-gaun indah dengan nuansa batik di patung-patung peraga busana. Ratu melongokkan kepalanya. “Ini Arimbi?” tanyanya.
“Iya, lama dia nggak ke sini.”
“Ya Allah, tingginya. Hmm ... dulu terakhir ke sini kan jahit kostum buat pagelaran di SMA kan ya? Yang main bareng Bima itu kan?”
Bima? Ya, Arimbi baru ingat jika butik itu adalah milik ibu dari Bima. Laki-laki yang paling ia hindari sejak dulu. Arimbi segera mengulurkan tangan dan mencium punggung tangan wanita cantik di depannya penuh hormat. “Bude, makin cantik aja,” puji Arimbi.
“Bisa aja kamu ini. Mau nyari apa ini? Buat seragam lagi? Atau mau cari buat jagong?”
Beberapa karyawan terlihat sibuk menata kain-kain yang diambil dari tempat produksi yang tertelak 100 meter dari rumah dan butik si empunya.
“Mau cari dua-duanya, Jeng. Sama ini, Arim itu mau tanya soal macam-macam motif batik, buat tugas katanya.”
“Oalah, kalau yang kayak gitu, di sana sudah ada buku yang tak buat, Mbak. Soalnya kadang beberapa pelancong yang bukan orang Jawa, apalagi orang Indonesia, suka penasaran kan sama batik. Makanya tak bikin bukunya. Arimbi kalau mau baca, mau liat contoh dan lainnya ada di sana, biar dianter sama Sita. Nanti misal informasinya kurang, panggil Bude aja ya?”
“Nggih Bude, di sebelah mana?”
“Sita, anter Arimbi ke pojok baca. Sekalian bilang ke Warti siapin minum sama cemilannya.”
“Nggih, Bu. Mari, Mbak,” ajak salah satu pegawai di sana.
“Jeng, malah repot-repot lo.” Pratiwi jelas tak enak hati karena kedatangannya dengan sang putri disambut dengan begitu spesial.
“Alah, kayak sama siapa aja. Kita kan udah kenal sejak sama-sama nunggu Yudhis sama Arun pas TK. Persahabatnnya masih awet sampai sekarang udah pada tua, ya meski masih jejaka, belum pada laku.”
Obrolan khas ibu-ibu berlanjut, sementara Arimbi menghilang dibalik pintu. Pegawai yang mengantar Arimbi tadi menunjukkan tempat koleksi buku milik tuannya dan mempersilakan sang tamu duduk.
Gemericik air dari kolam yang berada di sebelah barat pojok baca, terdengar. Aroma semerbak bunga kenanga tercium. Entah itu memang parfum khas di sana atau benar-benar muncul dari pohon kenanga yang berjajar di taman rumah depan pendopo. Pojok baca ini berbatasan langsung dengan pendopo rumah milik keluarga yang pada papan nama di atas terukir nama Griyo Prawiraningrat, dalam aksara jawa.
Tembang Kinanthi terdengar laras, khas alunan klenengan dan suara sinden menyatu padu memanja rungu. Tangan Arimbi menyentuh buku-buku yang berjajar rapi di rak jati. Ia mengambil satu buku bersampul kain. Bibirnya bergerak mengikuti suara sinden yang menyanyikan lagu di sana. Arimbi tak sadar jika kegiatannya mencuri perhatian seseorang. Pria yang sedari tadi duduk di kursi goyang menatap Arimbi dengan seksama. Ia perlahan beranjak dan terbatuk, mengundang perhatian. Gadis itu sontak mendongak.
KAMU SEDANG MEMBACA
SMARA CARITA
Romance"Aku tahu epos Mahabaratha lebih masyur, tapi kisah Bima dan Arimbi kita ini, lebih indah. Karena aku, Bimasena di dunia nyata, hanya mempersunting satu gadis untuk selamanya. Tak berulang kali, seperti yang dilakukan oleh Bimasena, dalam kisah Pand...