Bab 11. Raksasa Imut

257 42 34
                                    

Kepulan asap rokok membumbung beradu dengan aroma kopi yang menguar. Pemuda berwajah tirus dengan alis njlarit yang membuatnya terlihat sedikit feminim itu tak henti mengisap benda bernikotin di tangannya. Seolah ia tak peduli jika paru-parunya kelak akan terkena imbas dari kecanduannya kepada barang makruh yang ia pegang.

“Shaka!”

Suara bariton milik sosok tinggi tegap yang baru saja datang, membuat perokok berat itu menoleh. Matanya memicing.

“Eh, ada Bebeb Bima.” Kalimat dengan nada ejekan keluar dari bibir yang dulu kemerahan dan kini memucat akibat terlalu sering menyesap rokok. Beberapa antek Shaka mulai memasang sikap defensif. Namun, Shaka memberi mereka kode untuk tak ikut campur.

“Mau americano, latte, capucino, atau kopi areng?” Shaka tersenyum dan menawari musuh bebuyutannya dengan manis.

Bima menggeleng. “Aku ke sini mau tanya sama kamu. Apa kamu yang nyuruh orang-orang nyerang aku dan Dewi tempo hari?”

Kali ini Bima terlalu lugu, tapi tidak ada pilihan lain baginya, ia ingin memastikan sendiri apakah yang menyerangnya hingga menyebabkan Aruna meregang nyawa adalah antek Shaka atau memang hanya geng kampung biasa yang memang meresahkan masyarakat akhir-akhir ini.

Shaka tertawa keras. “Kamu nggak inget gimana Dewi udah ngerendahin aku? Ngapain aku ngurusin dia lagi kalau dia aja udah nggak respect sama aku. Ambil aja, aku nggak butuh. Aku udah punya yang baru dan aku mau tunangan. Belum ada yang aku kasih tahu sih, Bim. Karena kita udah sahabatan lama, jadi kamu yang pertama aku kasih tahu. Aku mau tunangan sama bidadari sekolah kita dulu. Adik kelas kita. Dan aku mau nikah secepatnya.”

Bima masih dengan tatapan tajamnya menyelidik raut wajah Shaka. Ia sebenarnya tak mau begitu saja percaya pada Shaka, tetapi entah mengapa kali ini rasanya Shaka berbeda dari biasanya. Ia benar-benar tak terlihat buas dan liar.

“Lu mau nikah?” Svarga yang sedari tadi berdiri di samping Bima tak tahan untuk tidak bicara.

Shaka mengangguk. “Capek hidup begini. Mending nikah. Kamu kapan nikah hm anak kang tambal ban?”

Jemari Svarga terkepal.

“Cewekmu nggak mau ya sama kamu, hm? Kasian. Mana ada cewek yang mau sama anak tukang tambal ban. Mana adiknya banyak banget. Bukannya hidup enak, eh malah tambah sengsara. Makan aja numpang sama Bima. Nama aja Svarga, surga, tapi hidup kek di neraka.”

Kejulidan memang sudah mendarah daging di dalam diri Shaka. Meski ia berusaha baik di depan Bima, tetap saja ia tak bisa mengerem ucapannya pada Svarga.

“Shak, bapakmu nyalon walikota, kan? Kalau kamu nggak jaga sikap, nggak jaga ucapan, bisa aja ada orang yang nggak suka sama kamu dan itu akan berimbas ke bapakmu. Elektabilitasnya bisa menurun.” Bima memperingatkan.

Shaka mengubah posisi duduknya. Benar juga kata Bima, pikirnya.

“Kalian ngapain emang nanya soal nyerang-nyerang? Kamu dikeroyok orang?” tanya Shaka mengalihkan perhatian. Ia sok care, setelah sadar jika nama baik sang ayah harus ia jaga meski ini bukan gayanya.

“Iya, di Supit Urang. Aku nggak kenal mereka semua. Masalahnya bukan aku yang kayaknya jadi sasaran utama, tapi malah ke Dewi. Dan, ada korban lain yang harusnya tak perlu terlibat. Sekarang dia sakit parah di rumah sakit.” Bima menjelaskan.

Shaka tersenyum dalam hati, ini adalah waktunya membersihkan nama baiknya. Ia harus meyakinkan Bima dan Svarga jika bukan dia dalang di balik pengeroyokan itu.

“Siapa korbannya?” tanya Shaka sembari menawarkan rokok. Svarga dan Bima sama-sama menggeleng, mereka adalah tim permen, bukan rokok.

“Kakaknya pacar Bima.” Svarga menyahut cepat.

SMARA CARITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang