Bab 23. Dua Sisi Hati

188 35 10
                                    

Senyum sumringah tak lepas dari wajah Bima dan Svarga. Begitu juga dari keluarga mereka yang ikut serta merayakan upacara kelulusan siang itu.

Di antara senyuman bahagia, ada satu dara yang terlihat memaksakan gurat lengkung tawa di sana.

Gauri. Gadis cantik bertubuh mungil itu terlihat sesekali mengulum senyum. Rasa kecewa yang selama sebulan terakhir ia pendam atas ketidakpastian sikap Svarga, kini berada pada puncaknya.

Tidak ada kata perkenalan manis disebutkan Svarga pada kedua orang tuanya atas diri Gauri.

"Cantik banget sih kamu, Sayang. Namanya siapa?"

"Uri, Tante," jawab Gauri.

Hanya itulah prosesi perkenalan yang Gauri pikir akan membawanya dekat dengan keluarga Svarga, nyatanya jauh dari bayangan.

Tidak seperti Bima yang dengan bangga menggandeng Arimbi kemanapun ia pergi, mengenalkan kekasihnya pada setiap rekan yang hadir, mendeklarasikan hubungan mereka secara lantang pada keluarga, Svarga tidak seperti itu. Seolah Gauri tidak punya arti apapun dalam hidupnya.

"Kamu nggak ikut Tari pulang?" tanya Svarga saat mendengar Gantari yang ikut datang ke acara perayaan itu bersama Yudhistira dan keluarga Bima, berpamitan.

"Mm, aku ... iya, aku mau pulang. Mau mampir perpus dulu," ucap Gauri.

Svarga mengangguk. "Oke. Besok aku mulai masuk kerja. Aku nggak bisa jemput kamu lagi sekarang."

Gauri mengangguk. Ia menguatkan hatinya. Sejak tadi, gejolak itu terus membuatnya ingin mengucapkan sebuah kalimat yang sangat ia hindari selama ini, tetapi nyatanya ia tidak tahan lagi.

"Mas, aku boleh bicara sebentar?"

Svarga menunduk menatap Gauri. "Kenapa? Kok formal gitu?"

Ia menggandeng Gauri menepi, ke arah dekat ruang penyimpanan peralatan gedung.

"Kenapa?" tanyanya lagi setelah merasa situasinya memungkinkan untuk saling bicara, tidak terlalu bising.

Gauri menghela napas dan mengembuskannya perlahan sebelum berbicara.

"Aku ... aku seneng Mas bisa lulus akhirnya. Makasih buat lima tahun kurang sedikit kita ini. Tugasku nemenin kamu udah selesai. Aku ... aku mau kamu nggak perlu repot dan merasa terikat lagi sama aku. Setelah ini kita hidup di jalan masing-masing. Aku masih di sini dan kamu merambah dunia barumu. Aku nggak mau kita saling terikat hubungan yang membuat kita nggak nyaman nantinya. Jadi, lebih baik kita jalan sendiri-sendiri aja ya."

Svarga mencoba mencerna ucapan kekasihnya sebelum ia tertawa.

"Capek pacaran?" tanya Svarga.

Respon Svarga yang seperti itu justru membuat Gauri semakin terluka. Bagaimana bisa ketika ia berusaha sekuat tenaga menahan diri untuk tidak menangis saat mengakhiri hubungan seperti ini, Svarga malah tertawa.

Gauri tidak bisa menyembunyikan tangis kepedihannya.

"Ternyata bener, seenggak penting itu ya aku buat kamu? Padahal lima tahun ini aku udah berusaha buat kasih yang terbaik. Tapi, aku terlalu bucin sampai nggak sadar kalau selama ini hubungan kita semu."

Svarga menatap aneh pada Gauri.

"Dek, kenapa ngomongnya ngelantur gitu. Udah dong, nggak usah drama. Aku juga udah capek pacaran terus. Makanya aku mau fokus kerja dan memperbaiki semuanya. Menyiapkan kehidupan baru yang lebih baik nanti di masa depan. Sana kalau mau ke perpus. Hati-hati ya, nanti pulangnya jangan ngebut."

Satu usapan lembut di puncak kepala dan kecupan di pipi didaratkan Svarga.

"Makasih ya, udah jadi supporting system terbaikku selama ini."

SMARA CARITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang