Some weeks later ..."Mbak Uri, Mbak Uri, tangkap!"
Skala, bocah kelas TK B, yang sudah sebulan ini begitu lengket dengan Gauri berteriak kegirangan saat bolanya dapat dengan mudah ditangkap oleh kekasih kakaknya.
"Adek! Kok main bola di sini. Nanti kalau masuk ke panci gimana? Mbak Sita sama Mbak Uri kan baru masak!" tegur Sita pada adik bungsunya.
Bocah itu seketika terdiam dan memeluk kaki Gauri. "Mbak Uri, Mbak Sita jahat," adunya.
Gadis ituterkekeh, ia menggendong bocah yang tingginya sudah setengah tinggi tubuh Gauri.
"Ngadu terus, manja!" Sita gemas pada sang adik yang kini sangat lengket dengan Gauri.
"Udah, udah. Skala makan yuk? Mbak punya ini nih. Mau disuapin?"
Skala mengangguk. "Mau, mau."
"Mbak! Mbak! Mas Aga pulang! Mas Aga pulang!" teriak Sasti yang tadi bertugas menjaga warung.
Skala yang awalnya digendong oleh Gauri mendadak minta turun. "Mas Aga! Mas Aga! "jeritnya kegirangan.
Sudah dua bulan lebih mereka tidak bertemu. Telepon pun jarang. Svarga tengah dalam mode sibuk dan mengirit demi bisa pulang dua bulan sekali.
"Mbak kita ke depan dulu yuk," ajak Sita.
Gauri mengangguk. Ia tidak siap bertemu Svarga sekarang, tetapi apa boleh buat. Ia tidak bisa menahan diri lagi akan rasa kerinduan yang mendalam atas sosok mantan kekasihnya.
Sosok tinggi itu kini tubuhnya mulai sedikit berisi. Wajah tampan dengan dagu berbentuk V sempurna dan lesung pipi di kedua sisi itu akhirnya dapat ditemui Gauri kembali.
"Ini buat Skala, ini buat Sakti, ini Satya, ini Sasti."
Svarga menerima salam dari satu persatu adiknya sembari memberikan benda berbungkus kertas payung.
Gauri ikut berdiri, berbaris di belakang Sita.
"Ini buat Sita."
Ocehan si Bungsu membuat fokus Svarga terpecah. Ia yang menerima salam dari Gauri tidak begitu memperhatikan.
"Punyaku mana?"
Saat suara khas 'cewek kue'milik Gauri terdengar, mata Svarga baru terfokus pada sosok yang baru saja mencium punggung tangannya.
"Dek Uri?"
Mata Svarga memelotot sempurna. "Kamu ngapain di sini?"
"Mas, kok gitu sih. Mbak Uri itu tiap hari bantuin ibu di sini ngurus adik-adikmu." Suara dari wanita yang telah melahirkannya membuat Svarga menoleh ke ambang pintu sebelum kembali menatap Gauri.
Ada Bima juga ternyata di sana. Hari itu, Svarga berusaha membujuk Bima untuk ikut pulang bersamanya.
Hari Minggu besok adalah hari pernikahan Aruna dan Dewi. Bima awalnya berniat tidak akan datang, tetapi Svarga memaksanya.
"Okelah kalau kamu sakit hati sama bapaknya Arim. Tapi setidaknya kamy harus inget Mas Arun itu udah banyak berjasa di hidup kita. Terus juga dia nikah sama Dewi. Kamu tahu kan, Dewi itu temen kita dari bayi. Tega kamu nggak dateng di hari spesialnya?" Svarga terus mengulang-ngulang hal baik yang Aruna lakukan untuk mereka hingga akhirnya Bima pun merasa tidak enak hati dan luluh.
"Aku nggak sakit hati sama papanya Arim. Aku ... Aku justru menghormati beliau. Beliay menyuruhku pergi dan aku berusaha untuk menurutinya." Bima mengklarifikasi hal yang ia kira perlu diluruskan agar tidak salah persepsi.
KAMU SEDANG MEMBACA
SMARA CARITA
Romance"Aku tahu epos Mahabaratha lebih masyur, tapi kisah Bima dan Arimbi kita ini, lebih indah. Karena aku, Bimasena di dunia nyata, hanya mempersunting satu gadis untuk selamanya. Tak berulang kali, seperti yang dilakukan oleh Bimasena, dalam kisah Pand...