Bab 21. Wejangan atau sindiran?

200 36 10
                                    


Hari demi hari terasa begitu indah dijalani Bima bersama Arimbi. Sesekali sang gadis menunjukkan sisi keras kepalanya.

“Sayang, kenapa sih?”

“Aku kesel, Mas Arun tuh ngeyel banget keluar dari rumah sakit padahal belum waktunya dia pulang. Gemes tahu. Udah tua dibilangain nggak nurut.”

Bima terkekeh melihat kekasihnya marah-marah.

“Ih, Mas kok malah ketawa sih. Mas itu setiap kali aku kesel malah ketawa.” Arimbi mengerucutkan bibir sembari berkacak pinggang.

Bima mengulurkan tangannya dan mengacak rambut di puncak kepala kekasihnya. “Habisnya kamu lucu kalau marah.”

“Marah kok lucu,” gerutu Arimbi.

Bima semakin gemas pada kekasihnya. “Habisnya aku harus gimana? Toh memang pacarku ini childish kan? Seringkali marah, ngamuk nggak jelas, kadang tiba-tiba merasa bersalah dan nangis sendiri.”

Arimbi menatap kekasihnya lekat. Mengapa hal menjengkelkan yang sengaja ia lakukan agar Bima membencinya malah membuat sang kekasih semakin gemas padanya.

“Mas nggak normal. Harusnya mas itu marah atau setidaknya negur aku.”

Bima menggeleng. “Dari pada adu mulut, aku lebih milih gini aja.”

Pemuda itu berdiri dan mendekap kekasihnya. Usapan di belakang kepala terasa begitu nyaman.

Aroma parfum maskulin yang menguar dari tubuh kekasihnya membuat Arimbi kecanduan.

Nafas Arimbi yang tadi memburu, kini mulai kembali pada ritmenya. Ia lemah setiap kali berada di dekapan Bima.

“Mau kamu marah, mau kamu kesel, mau kamu bikin aku kecewa sekalipun, aku tetap akan selalu berpegangan pada keyakinanku ini.”

Arimbi mendongakkan kepala. “Keyakinan apa?”

“Keyakinanku kalau kamu memang tulang rusukku, yang harus aku kembalikan ke sini, ke dalam dadaku, pelukanku.  Yang harus aku luruskan secara perlahan ketika bengkoknya keterlaluan. Jadi, kalau kamu itu marah, kumat egoisnya, manjanya, keras kepalanya, ya sudah aku biarkan saja, tapi kalau sudah mulai tenang, mulai reda emosinya, baru aku arahkan. Kalau kamu marah terus aku ikut bentak kamu, yang ada tulang rusukku ini malah patah, bukannya lurus seperti yang diinginkan.”

Netra Bima menatap lurus ke lorong gelap milik Arimbi. Sekuat tenaga ia menyembunyikan niatan buruk yang sudah ia rencakan sejak awal untuk menghancurkan Bima.

Arimbi, tahan. Jangan jatuh terlalu dalam. Dia bukan orang yang tepat.

“Aku sayang kamu.” Bima tak melepas tatap pada kekasihnya.

Arimbi benar-benar merasa tak kuasa menahan gejolak rasa hatinya yang kini terbagi dua kubu.

Bak tengah berada dalam prang Mahabarata, satu sisi hati Arimbi berlakon sebagai pihak Pandawa yang menyuarakan agar Arimbi melupakan saja dendam tak berdasarnya pada Bima. Sementara di sisi lain, ada pihak Kurawa yang menyuarakan agar Arimbi segera memutuskan Bima secepatnya.

“Hei, ngapain itu?”

Suara serak dari sang kakek terdengar, membuat Bima segera melepaskan tangannya dari tubuh sang kekasih. Arimbi pun segera mengambil satu langkah menjauh.

“E-eyang? Eyang dari mana? Tadi kayaknya Bunda nyari Eyang,” ucap Bima.

“Dari rumahnya Dewi. Nengokin simbahnya. Memastikan kalau sudah makan dan minum obat. Ada suster yang ngerawat ternyata sekarang. Kiriman ayahnya Dewi apa ya?”

SMARA CARITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang