Bab 18. Tembang Dhandanggula

214 38 8
                                    


Alunan tembang Dhandanggula terdengar merdu dari benda kotak berwarna hitam yang bertengger di atas meja.

"Lamun arsa, antuk jatu krami. Den prayitna ing pamilihira. Aja waton wadon wae. Aja milik wong ayu. Kaping pindho milik wong sugih. Ping telu pangkat drajad. Marga iku bisa karut. Kena sambang sarawungan. Kapilut ing widara kang manis-manis. Marmane den prayitna."

Suara pria sepuh yang tengah duduk di kursi goyang itu ikut membersamai dendangan tembang yang ia dengarkan.

Dua cucunya, yang tengah sibuk membantu melipat kain-kain batik untuk dimasukkan ke dalam plastik pembungkus khusus sebelum dijual, terlihat menikmati suara sang kakek.

"Rungokno, dengarkan baik-baik liriknya. Kalian berdua ini, sudah ada di masa yang harusnya sudah matang pemikirannya. Terutama perkara memilih pasangan hidup."

Yudhistira, si Sulung, terlihat santai menjawab. "Nggak paham Mbah, arti tembangnya."

Sang kakek menggelengkan kepala. Memang di antara ketiga cucunya, hanya Yudhistira yang paling tidak tertarik pada adat budayanya sendiri. Berbeda dengan Bima dan Arjuna yang sejak kecil sudah terlihat antusias dengan segala macam hal yang diajarkan sang kakek mengenai budaya mereka.

"Jika ingin memilih pendamping hidup. Berhati-hatilah dengan pilihanmu. Jangan memilih orang sembarangan. Jangan hanya memilih orang yang rupawan. Jangan hanya memilih orang yang kaya raya
Ketiga jangan hanya memilih orang yang berpangkat tinggi. Karena itu bisa berantakan. Dalam lingkungan pergaulan engkau dapat terlena dengan hal manis-manis. Maka sebaiknya berhati-hatilah."

Eyang Kusuma mengartikan bait pupuh yang tadi ia dendangkan.

"Kalian jangan terbuai oleh suguhan manis di mata saja. Jangan sampai lengah. Siapa tahu, dibalik manisnya perlakuan seseorang, akan ada suatu hal buruk yang terjadi. Bisa jadi, mereka baik pada kita hanya karena ada maunya."

Dari dalam butik, muncul dua gadis yang membawa tumpukan kain. Mereka ikut bergabung dengan Bima dan Yudhistira.

"Kamu harus tetap waspada. Siapa tahu dibalik manisnya senyum Arimbi, ada niatan tak baik yang akan membuatmu terluka."

Satu ucapan Eyang Kusuma membuat Arimbi yang baru datang seketika seperti ditebas pedang. Ia terpaku menatap pria sepuh itu dan Bima bergantian.

"Arimbi kenapa? Niat apa sih?" tanya Gantari memecah hening.

Suara gelak parau sang pria tua terdengar. Arimbi yang terlihat kebingungan karena kedoknya seolah dibongkar pun tak bisa bergerak. Tangan kokoh Bima menariknya turun, agar duduk dan meletakkan kain-kain itu di sampingnya.

"Kenapa kaget gitu? Simbah baru cerita soal Dhandanggula." Bima menjelaskan sembari tersenyum.

Arimbi mengembus napas lega.

"Simbah baru mewanti-wanti mereka. Siapa tahu cucu-cucu simbah ini keblinger, sampai lupa dan lengah akibat terlalu cinta dengan seseorang."

Tangan keriput itu mengusap kepala Arimbi yang kini duduk di dekat kakinya.

"Simbah tahu Bima sayang sekali denganmu. Jangan sakiti dia ya," pinta sang pria.

Arimbi tak mampu berkata-kata. Apakah Eyang Kusuma tahu niat tak baiknya untuk menghancurkan hidup Bima? Apakah Eyang Kusuma bisa mencium gelagatnya yang sudah serapi mungkin ia tutupi untuk menaklukkan hati Bima sebelum menjatuhkannya hingga hancur berkeping-keping?

"Seseorang yang sedang menemukan kebahagiaan dapat diibaratkan lagunya dhandanggula. Penuh watak luwes dan manis. Namun, tetap sarat makna. Sebagai manusia jangan terlalu berambisi akan dunia. Karena ambisi adalah sumber penderitaan. Hidup bahagia itu kuncinya terletak pada rasa syukur dan senantiasa berterima kasih atas rezeki yang dianugerahkan oleh Allah."

SMARA CARITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang