Bab 4. Gang Supit Urang

365 60 15
                                    


 

            Kopi Joss Mas Bardi, kedai kopi yang terletak di gang sempit jalan supit urang dekat pojok benteng keraton, menjadi tempat pilihan Aruna bertemu dengan mahasiswa bimbingannya. Rencananya hari ini, mereka hanya akan ngobrol santai di sana. Ada Pandu, Svarga, dan Bima yang ikut. Satu-satunya mahasiswi bimbingan Aruna, Dewi, belum Nampak. Ia masih ada wawancara di sebuah perusahaan, tempatnya melamar kerja.

            “Nyai Banowati beneran nggak datang?” tanya Pandu pada Bima, yang notabene tetangga sekaligus karib Dewi.

            “Dia lagi interview, katanya sih nanti nyusul. Mau ngojek dia ke sini.” Bima melepas jaket dan duduk di samping Aruna.

            “Bim, kamu lulusan Smaga?”

            “Iya, Mas. Bareng sama Aga,” jawab Bima dengan suara rendahnya.

            “Jadi bener, kamu Bima yang sering diceritain sama adikku, Arim? Eh kemarin itu, kalian ketemu kan? Aku ragu-ragu bener Bima kamu apa bukan. Dia pernah cerita soalnya kalau pernah mentas wayang sama yang namanya Bima temennya Aga, pacarnya Gauri. Gauri pacarmu, kan, Ga?”

            Svarga tersenyum dan mengangguk. “Iya bener, Mas. Dulu aku kenal sama Dek Uri gara-gara Bima sama Arim, mereka kan-“

            Bima menginjak kaki kurus Svarga, membuat pemuda itu berhenti bicara dan mengaduh. Pandu dan Aruna menatap keduanya heran. “Kenapa?” tanya Aruna.

            Svarga menggeleng, tak berani ia melanjutkan ocehannya. Bisa remuk badan cungkringnya dilibas Bima. “Kalau kamu kenal sama adiknya Mas Arun, kenapa kemarin kalian nggak saling sapa? Jangan-jangan, mantanmu ya? Biasanya gitu kan kalau sama mantan, pura-pura nggak kenal. Takut, usaha move on seabad hancur karena say hello dan tangan berjabat sesaat.”

            Ucapan Pandu membuat Svarga terbahak, ia kemudian menutup mulut karena takut dipelototi Bima. Aruna malah tersenyum. “Bener, gitu? Kalian pernah deket?”

            “Mm … Mas, ini tolong cek lagi revisiannya. Cuma tinggal benahin gini aja kan?” Bima mengalihkan pembicaraan. Aruna tahu, mahasiswanya itu tengah salah tingkah. Keempatnya kemudian membahas tentang skripsi mereka masing-masing, tinggal cetak saja sebenarnya, karena sudah mereka ujikan, tetapi tetap harus di ACC dulu oleh sang pembimbing skripsi.

            “Mas, ini gue eh saya print sekalian ya. Bagian salahnya, mumpung lagi berapi-api nih. Ga, temenin yuk.” Pandu beranjak dari bangkunya.

            “Iya, sana, punya Bima sama Svarga udah nih, tinggal punyamu.”

            Pandu segera menarik Svarga pergi, meninggalkan Bima dan Aruna di bangku paling ujung, dari tempat ngopi yang masih sepi itu. Biasanya, tempat itu ramai di jam-jam lepas isya’. Namun, sudah mulai buka sejak pukul tiga sore.

            “Kamu habis ini mau lanjut kuliah apa mau kerja dulu, Bim?”

            “Saya magang Mas, di kantor almarhum Romo. Kemaren ditawarin sama temennya Romo, sambil belajar sih Mas, tapi plan buat ambil magister jelas ada. Pengen nyoba cari uang dulu.” Bima menjawab sembari tersenyum dan menuang kopinya di lepek, sebelum diseruput.

            Aruna mengangguk-angguk. “Bagus kalu udah punya rencana. Setidaknya kan tahu mau gimana-gimana. Cowok emang harus gitu. Eh … kamu beneran pernah deket sama adikku?”

            Bima tak menyangka ia akan ditanya hal yang tadi bisa dihindarinya. Pemuda berkaos putih itu mencoba berpikir sembari meneguk kopi yang sudah ia seruput dari cawan. “Dulu, pas SMA, Mas. Pas udah lulus, udah nggak pernah ketemu. Kecuali kalau dia ikut Gauri ngapelin Aga, atau Aga ngajak saya ke tempat Gauri, baru deh ketemu.”

SMARA CARITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang