Bab 16. New Couple

221 31 18
                                    

Jogja 2022

Sepanjang malam, Arimbi terus bermimpi tentang hal-hal yang terjadi di masa lalunya bersama Bima.

"Kenapa aku bisa lupa kalau aku punya kenangan manis dengan Mas Bima? Kenapa aku bisa benci banget sama dia? Apa karena aku terlalu menghayati peranku dulu?"

Suara dering ponsel membuat lamunan Arimbi buyar. Ada nama Bima di sana.

"Assalamualaikum, udah salat?"

"Wa alaikum salam. Udah, Mas. Kenapa pagi-pagi telpon?"

"Mau bubur ayam atau nasi liwet?"

"Mas, ditanya apa jawabnya apa." Arimbi terkekeh.

Dari seberang telpon juga terdengar suara tawa Bima.

"Buruan jawab, bubur ayam atau nasi liwet?

"Bubur ayam aja."

"Oke, sekarang mandi dulu. Pesanan datang lima belas menit lagi, setelah itu aku anter ke rumah sakit dan kita ke kampus. "

"Mas, kamu serius? Emang kamu nggak ada kerjaan?"

"Aku mau nemenin pacarku seharian ini, mumpung belum sibuk magang. Masih ada waktu dua minggu selama nunggu wisuda."

Hati Arimbi berbunga-bunga. Dendamnya pada Bima sontak menguap, lenyap. Ia lupa pada tujuan utamanya membalas dendam atas celakanya sang kakak.

"Dek? Kamu tidur lagi?"

"Hmm? Eh enggak kok, aku mau mandi dulu. Aku tunggu  ya Mas."

Salam perpisahan terdengar. Arimbi menebak-nebak apakah kekasih barunya akan datang pagi itu membawa sarapan untuknya?

Arimbi berdandan dengan sedikit polesan make up dan tatanan rambut baru yang membuatnya terlihat begitu memikat. Dress batik di bawah lutut yang ia padukan dengan legging hitam menambah kesan feminim.

Bima sudah sampai di teras rumah sang dara dengan tiga bungkus bubur ayam. Matanya hampir tak bisa berkedip karena terlalu takjub melihat kecantikan sang kekasih.

“Mas?” Arimbi membalas tatap kekasihnya.

“Hm? Eh ini buburnya, mamamu ada kan?”

Sosok yang baru dibicarakan muncul. “Loh, Mas Bima, pagi banget udah sampai sini.”

Bima segera berdiri dan menyalami wanita itu. “Tante, ada bubur ayam masih anget. Didhahar dulu.”

Ibu Arimbi mengucapkan terima kasih. Sementara Arimbi masuk membuat teh untuk mereka bertiga.

“Ayo masuk dulu, makan di dalam aja ya?”

Wanita itu menggandeng Bima sembari menjinjing plastik buburnya. Bima begitu sopan, ia tak banyak bicara, meski agak gugup karena kini ia bukan lagi hanya teman biasa Arimbi.

“Kenapa kok tegang gitu, Mas?” tanya ibu Arimbi saat melihat Bima yang kini duduk di seberang meja.

“Mm ... itu Tante, saya, saya mau nemenin Dek Arim selama dua minggu ini sebelum saya mulai kerja. Apa boleh? Maaf Tante, saya lancang semalam, saya ... saya dan Dek Arim sepakat untuk menjalani msa penjajakan. Tapi, saya serius Tante, insyaallah nanti kalau saya sudah punya cukup tabungan saya akan segera melamar Dek Arim.”

Wanita empat puluh delapan tahun itu membelalakkan mata. “Ha? Lamar? Ya Allah, secepat itu?”

“Maaf Tante, saya nggak bisa bohongin perasaan saya ke Dek Arim. Rencananya saya juga mau bicara ke Om Aris nanti,” ucapnya.

SMARA CARITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang