Bab 2. Tentang Masa Depan dan Masa Lalu

554 68 28
                                    


 

            Rinai hujan mengguyur senja. Sejuk, menyejukkan. Segar, menyegarkan. Bau tanah dan genting tanah liat tercium, khas. Seperti setiap kali hujan tiba memandikan mereka, aroma itu menyeruak, membuka memori masa lalu. Mungkin, sebagian orang tak tahu bagaimana aroma alam yang begitu menenangkan saat menjumpa indera penciuman. Karena banyak dari mereka yang terlahir ketika beton telah melapisi jalan-jalan tanah berbatu. Cor sudah menutupi tanah di halaman-halaman rumah. Genteng fiber sudah mengganti genteng tanah liat yang dianggap kuno. Ya, anak modern tak akan tahu bagaimana candunya bau tanah saat hujan.

            Netra bulat dengan bulu lentik terpejam, sementara wajah yang menaungi keberadaannya menengadah. Rintik menjamah kulit kuning langsat milik sang dara.

            “Adek! Kok malah nadah hujan, sih? Ayo makan dulu.” Ajakan sang kakak membuat Arimbi segera masuk. Aruna merangkul adiknya. Begitulah kedekatan dua bersaudara yang terpaut usia hampir delapan tahun tersebut. Aruna sudah dua puluh delapan, tahun ini, sedang sang adik baru menginjak dua puluh tahun. Dulu, ibu Aruna hanya ingin memiliki satu anak saja karena trauma melahirkan. Namun, Aruna terus merengek ingin memiliki adik seperti teman-temannya. Sampai akhirnya Arimbi benar-benar lahir, dan Aruna memperlakukannya bak seorang putri.

            Kehidupan Arimbi sangatlah diimpikan banyak orang. Dimanja dan disayang oleh seorang kakak yang sangat baik dan tampan, siapa yang tidak mau? Segala keinginannya dituruti. Bahkan dari pada dengan teman-temannya, Aruna lebih sering menghabiskan waktu bersama sang adik, Arimbi. Hanya saja, tidak ada hal yang sempurna di dunia, termasuk kebahagiaan Arimbi, karena ada masa dimana ketika sang kakak harus kuliah di luar negeri dan untuk pertama kalinya ia harus menghadapi hidup sendiri. Ya, masa SMA-nya, ia lalui tanpa keberadaan sang kakak di sampingnya.

            Sang kakak melanjutkan studi di negeri Paman Sam. Hanya lewat telepon dan panggilan video mereka bersua. Mereka bukanlah dari keluarga milyarder hingga bisa bolak-balik Amerika—Indonesia. Aruna hanya bisa pulang dua kali selama tiga tahun masa studinya di sana. Keluh kesah rindu dan beratnya merantau di negeri orang, membuat Arimbi tak tega untuk menceritakan kehidupannya di sekolah. Ia takut membuat kakaknya semakin terbebani. Padahal, jelas ia sejujurnya ingin sekali mengadu jika ia dirundung di sekolah.

            Satu-satunya rahasia Arimbi yang Aruna tak pernah tahu adalah betapa menyebalkannya masa SMA sang dara akibat ledekan warga sekolah yang disebabkan oleh sosok yang kini menjadi mahasiswa bimbingan sang kakak, Bimasena.

            “Mas, Adek, buruan sini. Enak banget loh rendang dari Tante Mirna.” Terlihat wanita berjilbab bergo warna hitam, sibuk menyendokkan centong dan menaruh nasi ke piring-piring di depannya. Satu piring ia ulurkan pada pria berkumis di samping kirinya, satu lagi ia letakkan di sebelah kanan dan satu di depannya.

            “Perasaan Tante Mirna makin rajin ya, Ma, kirim-kirim makanan gini. Ada apa sih?” tanya Aruna sembari menarikkan kursi untuk sang adik. Arimbi mengucap terima kasih pada kakaknya sebelum duduk.

            “Ya, kan lumayan kalau dapet rejeki begini,” sahut sang ibu sembari membagi lauk ke piring-piring suami dan anaknya.

            “Dek, besok ikut sama papa ya, main ke rumah Om San sama Tante Mirna.”

            Arimbi belum menjawab, tetapi sang kakak lebih dulu mewakilinya. “Kenapa lagi, Pa? Papa nggak seriuskan soal perjodohan itu? Pa, jangan sembarangan jodohin anak. Arun nggak setuju kalau adek harus nikah karena terpaksa. Ini udah jaman NCT Pa, N Siti, bukan jaman Siti N alias Siti Nurbaya.” 

            “Mas, Shaka itu anak baik. Dia pinter juga, lulusan tercepat di angkatannya. Sekarang udah mulai magang di kantor ibunya. Dan satu hal lagi, papa udah terlanjur janji dulu sama Om San kalau punya anak perempuan mau kami jodohkan. Kalau sudah begitu kan mereka terikat.”

SMARA CARITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang