Bab 29. Tembang Megatruh

203 32 1
                                    

Tabuhan gamelan terdengar mengalunkan gendhing-gendhing yang membuai rungu.

Watak tembang megatruh adalah tentang kesedihan dan kedukaan. Tembang ini biasanya digunakan untuk menggambarkan rasa putus asa dan kehilangan harapan serta menggambarkan tentang kondisi manusia di saat sakaratul maut.

Lirik-liriknya sungguh mengena di hati sang dara yang kini melantunkan bait yang menyentil jiwanya.

"Lamun nganti korup mring panggawe dudu. Dadi panggonaning iblis. Mlebu mring alam pakewuh. Ewuh mring pananing ati. Temah wuru kabesturon."

Sebuah bait yang memiliki makna, apabila terbawa-bawa oleh perbuatan yang kurang baik. Manusia ibarat menjadi tempat iblis. Masuk di alam yang tidak mengasyikkan. Malu pada kejernihan hati. Menjadikannya  mabuk kepayang atas hal tidak baik.

Sebulan lebih sejak kepergian Bima dari hidupnya, hari-hari Arim yang mendung mulai membaik meski tidak sepenuhnya baik.

"Nduk."

Sapaan parau dari pria tua yang sudah beberapa hari terserang flu itu membuat Arimbi menoleh sempurna.

"Eyang," ucap Arimbi sembari berdiri dan mengulurkan tangan, mencium penuh hormat tangan keriput pria itu.

"Ngopo kok sedih?"

Pertanyaan itu membuat Arimbi mendesah pelan, menampakkan kepedihan hatinya.

"Gimana kuliahnya?"

"Alhamdulillah, Eyang, lancar. Eyang sudah sembuh? Kemarin Tari cerita kalau Eyang sempat dibawa ke rumah sakit, tapi Arim telat tahunya. Maaf ya," ucap gadis itu penuh sesal.

Eyang Kusuma tersenyum bijak. "Kayaknya bukan eyang yang sakit. Tapi kamu." Suara kekehan terdengar.

Arimbi tersenyum tipis. Pria itu seolah tahu betul apa yang ada di hati Arimbi.

"Arim kangen Mas Bima, Eyang," aku Arimbi pada akhirnya dengan bibir bergetar menahan tangis.

Pria itu terbatuk beberapa kali sebelum berkomentar.

"Eyang dengar kamu sudah punya jodoh sendiri? Bahkan kamu menyembunyikan itu dari Bima, kan?"

Arimbi kini tidak kuat menahan tangisnya. Ia tertunduk sembari tersedu.

"Arim salah, Eyang. Arim bohongin Mas Bima. Arim jahat sama Mas Bima. Arim nyesel," ungkapnya.

Eyang Kusuma menatap gadis yang kini tubuhnya bergerak naik turun seiring isakan tangis.

"Seperti tembang Megatruh. Megat Ruh. Lepas ruhnya. Ketika seseorang kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya, terlebih sesuatu yang sebelumnya ia sia-siakan dan baru ia sadari betapa berartinya dia, maka rasanya seperti pendosa yang kehilangan nyawa. Hanya penyesalan yang ada."

Pria tujuh puluh tahunan itu mencecap teh dari cangkir bliriknya.

"Dulu, ketika Bima ada dan menawarkan keseriusan, kamu meragukan. Sekarang, setelah Bima memutuskan untuk tidak meneruskannya, kamu baru sadar betapa berharganya dia. Bukan begitu?"

Arimbi mengangguk. Ia tidak mau menutupi apapun. Meski ia tahu, Eyang Kusuma adalah kakek kandung dari mantan kekasihnya, tetapi Arim menganggap pria itu seperti kakeknya sendiri.

Ia mencurahkan isi hatinya pada pria sepuh di sana.

"Arim yang salah, Eyang. Dulu, Arim punya niat nggak baik sama Mas Bima. Arim cuma mau main-main. Tapi, nyatanya Mas Bima benar-benar membuat Arim bahagia. Arim jahat sama Mas Bima, hanya karena bayangan masa lalu semu dan salah paham  yang dulu belum terselesaikan di antara kami, menjadi pemicu kebencian di hati Arim pada Mas Bima. Dan, Arim pengen minta maaf, tapi Mas Bima menutup akses komunikasi kami."

SMARA CARITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang